WAJAH IPMALAY 2

Kamis, 13 Maret 2008

WAJAH IPMALAY 2
ADAKAH KATA TERLAMBAT UNTUK BELAJAR MEMBACA?
buah fikir seorang sahabat berfikir @ji , feb ‘05

Proses pembelajaran dalam berbagai bentuk dan medianya tidak akan pernah lepas dari aktivitas tersebut dalam judul di atas. Sebagaimana telah tertuang dalam berbagai tulisan dan gagasan baik yang terpublikasikan maupun yang hanya bersifat konvensi dari masyarakat karena imbas dari akulturasi budaya, membaca bukanlah semata-mata hanya merangkai aksara demi aksara yang pada akhirnya mempunyai makna tertentu yang akan sangat berbeda dengan entitas huruf jika entitas tersebut masih berdiri sendiri. Sebelum akhirnya menjadi sebuah pengetahuan yang bernilai bagi manusia.
Dalam perkembangannya, manusia dituntut untuk semakin pandai dalam membaca sejalan dengan perkembangan kejiwaannya. Tanpa adanya dukungan kapasitas membaca yang baik, ketimpangan antara perkembangan kebutuhan manusia yang sangat erat hubungannya dengan perkembangan kejiwaan seseorang akan menjadi permasalahan laten yang mau tidak mau harus dihadapai. Tanpa bermaksud untuk mereduksi gagasan awal tentang aktivitas ini dengan terlalu mempermasalahkan teori-teori yang membangun dan menyertai perkembangan aktivitas ini, kita, sadar atau tidak disadari, masih sering terjebak dalam lubang yang disebabkan pembacaan yang salah. Era otonomi daerah dengan berbagai isu-isu ‘strategis’nya sebagai wujud perkembangan dalam aspek pengelolaan dan pelaksanaan kebijakan daerah, perkembangan peradaban manusia melalui berbagai ekstensinya seperti teknologi informasi dengan komputer, internet, mobilephone, fashion, dan berbagai karakteristik yang menjadi parameter dan sekaligus sebagai indikator perkembangan peradaban, telah banyak disalahartikan oleh para ‘muda’harapan bangsa kita. Kesan yang muncul dan diterima oleh masyarakat yang lain justru kontradiktif dari niatan awal yang menjadi pemicu munculnya berbagai perkembangan tersebut. Tidak tepat kiranya ketika kemunculan fenomena-fenomena tersebut tidak diartikan sebagai perkembangan. Namun akan sangat ironis jika dengan munculnya berbagai gagasan baru tersebut tidak ditindaklanjuti dengan arah gagasan yang tepat dan strategis.
Telah cukup terpahamkan bagi kita bahwa ilmu bukanlah sesuatu yang given. Dan, kalaupun hal tersebut kita artikan secara terbalik, tidak akan mempengaruhi kemurnian dan kemuliaan proses menuju ilmu itu. Bukan semata tentang ilmu itu sendiri. Penanganan konflik atau manajemen konflik, manajemen perubahan, adalah beberapa ‘ilmu’ baru bagi beberapa kalangan. Bahkan mungkin mayoritas masyarakat Indonesia. Tidak familiernya masyarakat dengan istilah ini sajapun, bukan berarti masyarakat tidak pernah mengalami dan merasakan fokus kajian dari ilmu tersebut. Justru sebaliknya, masyarakat Indonesia yang kenyang dengan pengalaman konflik dalam berbagai motifnya sebenarnya telah membentuk pemahaman bagi masing-masing tentang hal-hal yang baru tersebut, meskipun batasan-batasan obyektifitas yang senantiasa dibutuhkan bagi terlegitimasinya sebuah ilmu masih belum jelas. Namun sekedar informasi, di UGM, studi tentang hal tersebut bahkan telah sampai pada hal-hal kecil yang akhirnya dibentuk dalam sebuah jurusan bagi mahasiswa pascasarjana. Sebagaimana jurusan tersebut, ada lagi jurusan-jurusan ‘baru’ seperti politik lokal dan penyusunan kebijakan daerah, yang dalam beragam bahasa, kami sendiri sebagai mahasiswa masih berusaha membaca kemunculan fenomena-fenomena baru tersebut sebagai bentuk aktualitas UGM dalam memberikan jaminan mutu kelulusan mahasiswanya. Tapi, siapakah orang yang benar-benar dapat memberikan jaminan bagi tercapainya tujuan pendidikan yang telah dikupas tuntas, tas, tas, dalam buletin sebelumnya, sekarang maupun dalam berbagai media yang lain yang telah disepakati sebagai sebuah proses (the main idea not the form) ?
Terkait dengan masalah organisasi kedaerahan, maupun aktivitas politik dalam level yang lebih tinggi, beberapa waktu lalu IPMALAY mengalami beberapa konflik di lingkup internal dalam berbagai level pemahaman. Sebenarnya terlalu arogan untuk menggunakan hierarki pemahaman yang akan memunculkan si bodoh dan si pintar, tapi demikianlah adanya, bahwa akibat pembacaaan permasalahan sosial yang tentunya membutuhkan kemampuan membaca yang lebih dari sekedar merangkai aksara yang salah, akan menimbulkan pemahaman yang salah. Tanpa adanya kontrol sosial yang tegas akan berdampak pada penyesatan pemahaman, pembodohan, dan beragam adampak negatif yang lain di masa mendatang. Pada saat sekarang atau dulu, kita senantiasa terjebak pada cara orang ‘menjual’ gagasan bahkan tentang masa depan bukan hanya masa depan si penjual namun juga masa depan orang yang membeli jualannya. Selain konflik yang terkait dengan pemahaman, muncul juga konflik yang lain berkaitan dengan perimbangan (dalam bentuk yang lebih solid) hak dan tanggungjawab. Bukan kewajiban. Efektifitas kegiatan di sela-sela aktivitas akademik di kampus tentu membutuhkan kesiapan pembacaan tentang beragam kecenderungan yang akan muncul dengan ragam karakteristik kepribadian yang harus dapat terfasilitasi demi eksistensi gagasan utama dari kegiatan IPMALAY sendiri. Argumen tentang efektifitas dan komitmen terhadap tujuan perjuangan IPMALAY sendiri masih senantiasa membawa dampak yang dalam banyak cara masih disalah artikan sebagai pemanfaatan bukan pemberdayaan. Lagi, salah membaca!Dengan sekian contoh permasalahan dan ribuan permasalahan yang mungkin akan datang, masih pantaskah kita mempertanyakan : “apa kita tidak terlambat untuk belajar membaca ?” . mungkin anda akan memilih untuk menjawab YA!dan tergilas peradaban akibat sebuah kesalahan dalam ‘MEMBACA’.

0 komentar:

 
IPMALAY © 1988 | Designed by Lingkar Dalam Febri, in collaboration with IPMALAY | Ayo Update Kegiatan IPMALAY Dari Sini, Selamat Membaca