Kekerasan akademik

Kamis, 13 Maret 2008

Kekerasan akademik
Materi termuat Buletin IPMALAY 05


Selama kuliah, pantas kalau masalah–masalah akademik mendapat perhatian besar. Karena sistem belajar di universitas berbeda dengan sistem yang digunakan di SD sampai SMU, nggak heran kalau banyak yang kesulitan beradaptasi.

Perbedaan ini menyebabkan ketidaktahuan sistem akademik dan memancing terjadinya kekerasan sistem akademik. Bisa jadi istilah ini terdengar aneh di benak mahasiswa baru atau adik-adik. Bahkan di kalangan mahasiswa yang sudah lama kuliah pun kekerasan akademik menjadi obrolan yang populer. Padahal para pejuang hak mahasiswa yakin bahwa kekerasan akademik ini sering terjadi di lingkungan kampus.
Mengapa sebenarnya kekerasan akademik bisa terjadi ? tindakan macam apa yang bisa dianggap sebagai kekerasan akademik. Jawaban kedua masalah ini berkaitan dengan kebebasan akademik. Artinya, kebebasan dan kekerasan akademik adalah dua hal yang berkaitan erat. Tidak adanya jaminan atas kebebasan akdemik adalah masalah pokok yang lantas memunculkan kekerasan akademik. Rumit ya ! biar ‘gak bingung kita uraikan saja satu per satu! !

Kebebasan akademik
Apa sih kebebasan akademik itu? Kebebasan akademik dapat diartikan sebagai kebebasan bagi dosen untuk mengajar dan bagi mahasiswa untuk belajar tanpa adanya intervensi dan represi pihak luar (pemerintah, pihak keamanan, masyarakat, dll). Selain itu, juga tidak boleh adanya tekanan institusional dari dalam universitas sendiri.
Lebih khusus lagi, kebebasan akademik bagi dosen berarti kebebasan untuk mengembangkan segala kegiatan yang akan meningkatkan kemampuan intelektual mereka, mempresentasikan penemuan – penemuan mereka dam mempublikasikan hasil riset tanpa sensor, serta mengajar dengan cara–cara yang menurut mereka profesional. Untuk mahasiswa sendiri, elemen dasar bagi kebebasan akademik adalah kebebasan untuk mereguk pengetahuan yang mereka inginkan, menyusun kesimpulan-kesimpulan, serta menyatakan pendapat.
Kebebasan akademik bukan hanya untuk kepentingan kenyamanan bagi para dosen dan mahasiswa saja, melainkan juga demi kepentingan masyarakat luas. Kebutuhan masyarakat akan pengetahuan akan terpenuhi dengan baik jika kegiatan akademik berjalan dengan baik dan sehat. Bila kebebasan akademik tidak dijamin, ilmu bisa dijadikan alat kekuasaan. Misalnya, pelajaran seperti Pancasila dan Kewiraan bisa dijadikan alat menanamkan doktrin. Mahasiswa cuma diajari satu cara pandang saja, tidak boleh ada perbedaan pendapat. Pembatasan pikiran kritis semacam ini bisa juga terjadi pada mata kuliah lain.
Fenomena ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia. Di negara-negara yang tradisi demokrasinya lemah, ilmu dan sekolah (termasuk Universitas) dianggap sebagai alat propaganda nomor satu. Memang, institusi formal seperti Universitas (apalagi yang dibiayai pemerintah) cenderung punya watak yang setia dan tidak kritis pada kekuasaan. Padahal ilmu seharusnya diabdikan untuk kepentingan seluruh manusia, tidak hanya segelimtir orang saja.

Kekerasan Akademik
Nah, kalau kita sudah tahu definisi kebebasan akadenik, akan lebih mudah bagi kita untuk membahas masalah kekerasan akademik. Secara sederhana, kekerasan akademik bisa diartikan sebagai tindakan yang tidak menghormati kebebasan akademik warga kampus. Kalau di sebuah Universitas tak ada jaminan kebebasan akademik, bisa dipastikan kekerasan akademik akan sering menimpa dosen dan mahasiswanya.
Di kalangan mahasiswa, barangkali kekerasan akademik yang paling populer adalah subyektifitas nilai yang diberikan dosen. Banyak mahasiswa yang mengeluh karena dosen tidak mempunyai ukuran yang jelas untuk menilai pengetahuan mahasiswa. Kadang bahkan ada dosen yang mempunyai “black list”, dan memberi mereka yang terdaftar disana nilai jelek. Padahal masalahnya bisa jadi hanya sepele dan tidak berhubungan dengan kemampuan si mahasiswa. Masalahnya bisa beragam, mulai dari presensi yang bolong-bolong, pakai kaos oblong atau sandal jepit saat kuliah, hingga sering menentang pendapat dosen.tentu ini tidak adil, karena nilai berhubungan dengan pengetahuan, bukan penampilan (itu kata mahasiswa lho..)
Selain itu banyak peraturan yang bisa dijadikan kedok bagi dosen dan pejabat fakultas/universitas untuk merugikan mahasiswa. Ini bisa juga digolongkan sebagai kekerasan akademik. Peraturan tentang dosen pembimbing, misalnya. Kalau dosen pembimbing sulit ditemui, mahasiswa jadi tidak punya kesempatan konsultasi. Ini sudah terhitung kekerasan pertama. Yang kedua, mahasiswa bisa terlambat mengurus registrasi KRS (Kartu Rencana Studi) karena masalah tanda tangan dosen pembimbing – sehingga harus dipotong jatah SKS-nya atau didenda.
Bagi mahasiswa yang sedang menyelesaikan skripsi kesulitan menghadap dosen tentu akan menghambat kelulusannya.
Meski jumlahnya jauh lebih besar dari elemen universitas lainnya, mahasiswa seringkali tidak punya pisisi tawar yang cukup kuat dalam masalah-masalah akademik. Kebanyakan mahasiswa menyerah dan memilih diam. Banyak yang berfikir, selembar ijazah dengan sederet nilai tinggi lebih berarti dibandingkan perjuangan heroik untuk iklim demokratis, jaman memang sudah berbada ya? Bagaimana dengan anda-anda nantinya?

0 komentar:

 
IPMALAY © 1988 | Designed by Lingkar Dalam Febri, in collaboration with IPMALAY | Ayo Update Kegiatan IPMALAY Dari Sini, Selamat Membaca