MENATAP KEMBALI SEBUAH PENDIDIKAN

Kamis, 13 Maret 2008

MENATAP KEMBALI SEBUAH PENDIDIKAN
buah fikir seorang sahabat berfikir @ji , feb ‘06

Dengan beragam resiko terutama anggapan retoris dan normatif yang paling mungkin muncul ketika mendengar istilah pendidikan, bukanlah argumen yang rasional bagi sebuah wacana untuk dikubur begitu saja. Terlebih tentang pendidikan. Apa yang telah kita dapat dari proses menuju seorang terdidik, ternyata tidak banyak merubah keadaan yang kita hadapi. Tanpa meniadakan perubahan yang telah maupun yang sedang dilakukan untuk tetap bertahan dalam proses hidup yang progresif, bukan tanpa alasan ketika kita harus menatap secara utuh sebuah proses yang bertajuk pendidikan tersebut.
Terlepas dari beragam pemahaman yang dimunculkan para ilmuwan tentang hakikat pengertian waktu, anggapan yang telah “diterima” adalah bahwa waktu bergerak progresif menuju ke ujung yang sampai saat ini belum terpetakan oleh kajian keilmuan. Terkait dengan proses pendidikan, perkembangan proses ini dari berbagai tahapan dan berbagai jenis dan skalanya seakan bergerak “mundur”, untuk tidak terjebak pada pemahaman sempit dari “tertahan”. Dimensi waktu dengan berbagai tanda-tanda unik di tiap bagiannya, agaknya terlalu cepat untuk direspon dan pada akhirnya disikapi dengan benar oleh seorang manusia. Bagi beberapa orang yang lebih memahami permasalahan tersebut, pilihan untuk membagi pemahaman tersebut dengan kepada orang lain, terbentur berbagai batasan yang pada akhirnya membawa dominasi pengetahuan dan elitisme intelektual sebagai resultan dari proses mulia tersebut(pendidikan). Batasan-batasan seperti apakah yang menghambat proses transfer pengetahuan ini? Kelembaman kultural, yang berkaitan dengan pembentukan perilaku adalah salah satu batasan yang “tampak” selain batas-batas lainnya
Pendidikan dalam wujud nyatanya yang terlegitimasi oleh konsensus masyarakat sebagai objek pendidikan pada praktiknya tidak bisa terlepas dari kecenderungan pembentukan kebiasaan yang memiliki dikotomi selain sebagai proses menuju kesadaran, juga sebagai batasan yang menghambat kesadaran itu sendiri. Dalam kaitannya dengan proses pendidikan yang dianggap tidak mampu berbuat banyak untuk menghasilkan output yang sesuai dengan proses yang disusun, yaitu kesadaran kritis. Kesadaran untuk tidak terjebak pada kebiasaan yang telah terbangun bahkan dalam prosses pendidikan itu sendiri. Dalam tahapan selanjutnya, sesudah pendidikan formal yang harus dijalani seseorang, kesadaran kritis adalah komponen utama bagi berkembangnya pemahaman seseorang terkait dengan kemampuannya untuk membentuk kerangka aktualisasi pemahaman yang dimilikinya. Sebagaimana jargon yang digunakan pemerintah dalam gagasan otonomi daerah, “respon” adalah kunci utama keberhasilan upaya pelayanan dalam mindset pemerintahan yang baru.
Dengan argumen tersebut, kiranya tidak berlebihan jika tujuan proses pendidikan yang dikukuhkan dalam bentuk kurikulum pada level formal adalah pembentukan sense, kepekaan yang akan menghasilkan kesadaran kritis. Berangkat dari premis yang tertuang dalam keseluruhan tema yang ingin diwujudkan lewat buletin ini, bahwa tidak yang final dalam proses yang harus dilalui oleh seorang manusia, dalam lingkup internal maupun dalam kaitanya dengan realitas diluar dirinya, tidak ada alasan bagi siapapun yang sadar akan keterlibatannya dalam proses pendidikan untuk berhenti pada pemahaman pendidikan yang telah ada di kepala masing-masing.
Sulit untuk beranjak dari kebiasaan yang telah terbangun. Lantas, upaya seperti apa yang harus dan dapat kita lakukan sekarang terkait dengan keterlanjuran yang ada? Langsung merombak seluruh kebiasaan bukanlah solusi yang cukup tepat. Perubahan yang ingin dihasilkan dari pemahaman tentang proses pendidikan bukanlah perubahan yang ekspolsif, rigid yang cenderung menimbulkan masalah baru berupa eforia. Perubahan yang ingin diwujudkan adalah perubahan pada tataran pemahaman, gagasan, dan ide. Bahkan tentang perubahan itu sendiri. Berkembangnya pemahaman pengetahuan seseorang ternyata tidak bisa dipastikan sebagai ukuran keberhasilannya menghadapi realitas yang berkembang di sekitarnya. Yang banyak terjadi masih tidak jauh dari ungkapan kegamangan, ketidaktahuan ketika harus mengaktualisasikan pengetahuan tersebut. Aktualisasi pengetahuan yang telah ada, divonis sebagai korban keterlanjuran yang telah ada sebelumnya. Bahwa bangsa kita bukanlah bangsa yang memiliki kontrol terhadap perkembangan pengetahuan. Bangsa inilebih terbiasa sebagai konsumen pengetahuan.
Lagi, gagasan di atas apakah lantas menjadikan kita berpikir apologis dengan berserah diri pada kesadaran magis yang (juga) telah sangat subur tumbuh di iklim keputusasaan yang seakan menjadi “warisan” bagi bangsa dengan track record seperti Indonesia ?
Terlalu “ngoyo woro” kalau kita mencoba dengan berbagai janji-janji sebagai bentuk optimisme, salah satu bahan yang sempat dicuri ganasnya masa transisi yang terjadi di Indonesia. Bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, yang terpahamkan di kepala mereka ternyata bukan lagi perubahan tatanan, seperti yang pernah mereka tuntut setelah masa represif orde baru. Justru malah mereka lebih bisa menjalani kehidupannya dengan tenang, minim konflik pada tatanan lama tersebut. Tapi, reformasi dan berbagai dinamika yang menyertainya sampai saat ini tidak memberi kesempatan lain bagi kita selain terus maju ke medan kegamangan, dimana kita harus menilai, mengukur dan menghadapi sendiri musuh kita yang tidak pernah kita temui sebelumnya. Terkait dengan upaya pendidikan, sebagai upaya yang paling strategis dan realistis bagi bangsa ini, dalam artian bukan untuk memenangkan kompetisi global yang “liar”, gagasan untuk mengembalikan established value yang telah terbangun menuju pada core value pendidikan, diharapkan dapat menjadi titik terang bagi kegamangan bangsa ini. Wujud dari gagasan yang telah dirintis melalui KBK (kurikulum Berbasis Kompetensi) pada pendidikan dasar dan menengah dan jaminan mutu kualitas lulusan perguruan tinggi yang beberapa waktu yang lalu ditandatangani oleh beberapa rektor dalam sebuah nota kesepakatan, masih membutuhkan kontribusi dari kita (baca: pelajar, mahasiswa, pemuda) sehingga kita ikut berperan dalam upaya “bertahan” secara menyeluruh.
Sejauh ini, kontribusi yang paling sering muncul dari golongan tersebut tidak lebih dari mengkritisi dan mencari kelemahan gagasan yang dimunculkan para pendahulu (yang lebih dulu) yang mungkin tidak lebih menyentuh hal-hal yang justru kita yang lebih dapat merasakannya. Membentuk kerangka aktualisasi yang konstruktif bagi kita sendiri dan masyarakat adalah salah satu core value yang ingin diwujudkan oleh banyak pihak terutama dari kalangan muda, yang merasa akan menjadi sebuah value added process ketika sebuah pengetahuan meskipun sedikit dapat terrealisasi dalam sebuah solusi konkrit bagi masyarakat. Dan hal ini sangat tidak bertentangan dengan proyeksi mewujudkan pendidikan dengan nilai-nilai yang kokoh terbangun dalam tiap-tiap implementasinya.
Dan untuk mewujudkan established value bukanlah kerja yang selesai dalam rentang waktu yang dimiliki oleh sebuah generasi. Bisa jadi manfaat dari gagasan yang dimunculkan baru bisa dirasakan oleh anak cucu kita.
Sekedar mengulangi, tanpa adanya ketulusan dalam menjalani sebuah proses terutama pendidikan, mulut kepicikan telah menganga dan menanti anda datang tanpa pernah tahu bahwa anda sedang menuju ke sana. Berikutnya adalah giliran anda untuk menentukan pilihan tentang proses yang ingin anda jalani. Semua perubahan besar berawal dari perubahan dalam diri kita sendiri. Kuno? mungkin. Terserah bagaimana anda menatap kembali kesimpulan tersebut.

0 komentar:

 
IPMALAY © 1988 | Designed by Lingkar Dalam Febri, in collaboration with IPMALAY | Ayo Update Kegiatan IPMALAY Dari Sini, Selamat Membaca