Mahasiswa Mau Apa?

Kamis, 13 Maret 2008

Mahasiswa Mau Apa?
Materi termuat Buletin IPMALAY 05


Apa artinya menjadi mahasiswa? Menjadi mahasiswa bukan sekedar menjadi siswa yang “maha”. bukan lagi seperti anak SMU canggung yang tiap hari mengenakan baju yang sama ke sekolah, yang bisa bolos kuliah dan mengatur jam belajarnya sendiri, yang pendapatnya harus dihargai orang tua (karena mahasiswa sudah dewasa dan bukan lagi remaja), yang boleh pulang malam karena jadi aktivis kampus, yang merasa punya hak untuk omong politik serta kritik sana-sini, dst, dst.
Menjadi mahasiswa di Indonesia, sebagaimana di negara miskin lain, adalah sebuah kemewahan. Mewah, karena hanya 2% dari kurang lebih 220 juta rakyat Indonesia yang cukup beruntung bisa menjadi mahasiswa. Mewah, karena menjadi mahasiswa berarti punya akses informasi eksklusif (perpustakaan dan kuliah dengan dosen top lulusan negara maju), akrab dengan perkembangan teknologi impor dari belahan dunia lain, dan berkesempatan menjadi peneliti-manajer-psikolog-dosen-pejabat-insinyur-dokter-pengacara-pengusaha dancalon anggota kelas menengah Indonesia (yang berdasi, bermobil mewah dan menggenggam Handphone)
Dalam historiografi Indonesia abad XX, mahasiswa berada di tempat terhormat. Nama-nama yang tercatat sebagai pendiri bangsa kebanyakan adalah mahasiswa. Mohammad Hatta, Soekarno, Sutan Syahrir, Soetomo, Tan Malaka, Agus Salim, Cipto Mangunkusumo, adalah beberapa yang paling terkenal. “Indonesia” sendiri juga adalah sebuah konsep baru yang dibentuk lewat bahasa, lewat koran-korandan selebaran yang digarap para priyayi sekolahan tadi.
Pada tahun 60-an, ketika harga-harga melambung, hawa politik super panas, dan Presiden Soekarno masih saja menggebu-gebu dengan “revolusi” belum selesainya, lagi-lagi mahasiswa memainkan peranan penting. Demonstrasi yang dipelopori mahasiswa dan didukung militer turut melicinkan jalan seorang jendral yang tak terkenal menuju puncak kekuasaan. Dan selama 32 tahun, sang jendral itu memimpin pembangunan nasional (depolitisasi massa,pemberangusan pers, doktrinasi pelajar birokrasi yang korup dan ekonomi kroni yang kropos). Ketika tahun 1997 rupiah terpuruk, himpitan ekonomi dan akumulasi ketidakpastian politik berubah menjadi ledakan sosial. Dan, sekali lagi, mahasiswa tampil keren dengan menduduki gedung MPR menuntut sang jendral lengser. Jendral yang sam dengan yang dulu yang mereka antar menuju kursi kepresidenan.
Cerita sejarah ini menggoda orang untuk menilai tinggi mahasiswa. Status mahasiswa menjadi simbol kebanggaan, karena mahasiswa bukan orang kebanyakan. Menjadi mahasiswa berarti menjadi anggota sebuah kelas sosial intelek dan cendekia. Tapi benarkah? Untuk menjawab pertanyaan ini, “apa” dan “siapa” mahasiswa itu harus diperbincangkan.
Kata ‘intelektual berasal dari bahasa Latin, interlego atau intellego yang artinya “memisah-uraikan sambil mengendapkan dalam batin”. Menurut arti ini, seorang intelektual harus mampu berpikir mendalam, menghayati sesuatu, Sebuah tugas yang butuh kekayaan batin sekaligus ketajaman berpikir. Proses “memisah-urai dan mengendapkan” ini pada hakekatnya adalah pencarian kebenaran. Dengan demikian, seorang intelktual adalah pencari dam kekasih kebenaran, seperti Socrates, filsuf besar Yunani kuno, yang memilih menenggak racun. “Sekali-kali takkan aku mengubah haluan, walau harus mati berkali-kali,” jawabnya, ketika diberi kesempatan untuk mendapat ampunan pengadilan dengan syarat tak lagi bertanya dan berspekulasi. Ia membela kebebasannya sebagai seorang intelektual.
Jelas, tidak semua sarjana memiliki gairah yang menggelora akan ilmu (kebenaran) sekaligus memiliki imunitas terhadap godaan dan ancaman kekuasaan. Dengan demikian setiap mahasiswa bakal menjadi intelektual. Dari kacamata lain, mahasiswa jatuh dari sosok patriot universitas peembela rakyat dan kebenaran (seperti dalam bayangan Soe Hok Gie) dengan panji-panji “kepeloporan intelektualnya”. Kehidupan universitas , yang sering dianggap sarang kaum intelektual, seringkali tidak semegah gaungnya. Tak terkecuali universitas-universitas negri yang ada di Indonesia sekarang ini. Bersiaplah tertawa pahit melihat potret buram dunia mahasiswa kita: mahasiswa yang segan berdiskusi, yang bacaannya sebatas diktat dan catatan kuliah, yang mencontek waktu ujian demi sebuah angkayang disebut indeks prestasi, yang gugup bila diminta menulis majalah, yang gagap dalam menerapkan ilmunya, yang gairah utamanya bukan mencari pemahaman melainkan menjadi sarjana secepat-cepatnya.
Maka wajar saja kalau Gunawan Moehamad, budayawan dan pendiri majalah Tempo, tak antusias berbicara tentang kepeloporan intelektual, apalagi kepeloporan mahasiswa. Bukankah yang menjadi arsitek kepemimpinan orde baru, yang bertanggungjawab atas keilmiahan konsep ekonomi pertumbuhanyang rapuh, dulunya juga mahasiswa? Juga para pejabat korup yang mencuri uang pajak, eksekutif bank-bank berkredit macetyang menilep tabungan masyarakat, sejarawan dan ilmuwan penulis buku-buku sejarah, PSPB dan PMP yang membodohkan, serta akuntan dan pengacara lihai menutupi jejak kejahatan kerah putih? Atau bahkan Bapak-Ibu guru kita yang ngertinya hanya mendiktekan materi dan memberi tugas saja, panutan kita yang kadang mencuri waktu mengajarnya untuk merokok dan ngerumpi dengan rekan sejawatnya di kantor, dulu juga adalah mahasiswa. Tapi itu dulu lho!
Sekarang dapatlah kiranya kawan-kawan atau adik-adik untuk berefleksi sejenak, renungkanlah dari hatimu yang paling dalam, bacalah dari banyak referensi yang dapat dipertanggungjawabkan, bila perlu tanyakanlah pada orang-orang yang masih engkau percaya, orangtuamu, gurumu, teman-temanmu, atau siapapun yang kiranya dapat membantumu mencari jawaban ini; Untuk apakah sebenarnya kamu mencari ilmu. Untuk apa kamu setiap hari bangun pagi, mandi, gosok gigi, berangkat sekolah , mendengar, menulis dan menghafal. Untuk apa pula bercita-cita masuk ke PTN pavorit, UI, ITB, UGM, USU, dll. Siapkah kalian untuk memasuki dunia kampus yang penuh tantangan dan jebakan ini. Sudah siapkah kalian untuk jadi mahasiswa yang sebenar-benarnya mahasiswa, mahasiswa yang siap menjadi ilmuwan dan intelektual sejati, mahasiswa yang tidak ingin menjadi seperti orangtua-orangtua kita di atas.
Semoga kalian dapat memastikan jawabannya!

0 komentar:

 
IPMALAY © 1988 | Designed by Lingkar Dalam Febri, in collaboration with IPMALAY | Ayo Update Kegiatan IPMALAY Dari Sini, Selamat Membaca