WAJAH IPMALAY 1

Kamis, 13 Maret 2008

WAJAH IPMALAY 1
Sebuah catatan perjalanan IPMALAY
(Ikatan Pelajar & Mahasiswa Labuhanbatu di Yogyakarta)
“Tends to change” adalah sebuah gejala psikis yang melekat dalam kedirian kita. Dalam tiap tahapan kehidupan, berbagai realitas sosial dan kecenderungan bahwa sejarah akan berulang, adalah “driver” bagi seorang manusia untuk terus terlibat dalam sebuah proses yang setali tiga uang dengan kompleksitas permasalahan yang mengikuti tiap perkembangannya. Hakikat bahwa manusia adalah mahkluk yang tumbuh dari realitas di sekitarnya membawa pada sebuah pemahaman tentang proses yang telah, sedang dan akan dijalani sebagai proses belajar yang tidak pernah berhenti (long life learning). Pertanyaan dalam subjudul di atas adalah sebuah titik awal bagi sebuah proses kontinu dalam upaya sederhana, memandang wajah IPMALAY dulu, dinamika proses IPMALAY sekarang, dan selanjutnya menggambarkan “Guideline” sebagai kerangka acuan bagi kesinambungan IPMALAY di masa yang akan datang.
Dalam beberapa diskusi informal yang secara intensif diselenggarakan oleh IPMALAY di sekretariat IPMALAY, beberapa fakta sejarah terkuak. Dalam nuansa bulan ramadhan dengan berbagai aktivitas persiapan menjelang lebaran, sepertinya tidak menyurutkan semangat-semangat kebersamaan yang tercermin dengan diskusi-diskusi informal tersebut, bahkan para “sesepuh” yang pernah terlibat dengan berbagai problematika IPMALAY dengan kebesaran hati masih menyempatkan untuk bercengkerama dengan adik-adiknya. Dari sinilah beberapa latar belakang munculnya gagasan yang pada akhirnya diwujudkan dengan IPMALAY, dibeberkan.
Berangkat dari sebuah kesadaran akan “tends to change”, akhirnya banyak lulusan terutama lulusan sekolah-sekolah menengah atas di Kabupaten Labuhanbatu, Sumatera Utara yang tersebar dalam beberapa titik konsentrasi, sebut saja Rantauprapat, Aek Nabara, Aek Kanopan, Kotapinang, Perlabian dan sekitarnya (PARIS) dan titik lainnya memutuskan untuk melanjutkan studinya ke Jogja. Dan bukanlah sebuah keputusan yang tanpa pertimbangan untuk memilih Jogja sebagai labuhan berikutnya. Citra yang terbangun tentang Jogja sebagai kota pendidikan, bukan sebuah fenomena lekang sampai sekarang.
Sampai pada akhirnya, niatan-niatan yang mengantarkan seseorang hingga akhirnya sampai di Jogja yang pada saat itu lebih pada niatan individu, membawa sebuah kecenderungan untuk lebih menguatkan niatan-niatan tersebut menjadi sebuah niatan bersama. Paling tidak dari aspek-aspek primordial,bahwa ada kesamaan yang melekat pada masing-masing individu. Perubahan niatan itu didasari juga oleh sebuah realitas lampau bahwa apa yang kita dapatkan di kampung halaman sangat jauh dari apa yang sesungguhnya diperlukan oleh seorang pelajar, yang mulai membaca adanya ketimpangan-ketimpangan pada sistem social yang ada. Dari proses membandingkan tersebut kemudian muncul kekhawatiran-kekhawatiran yang sangat perlu untuk diakomodasi. Proses “melacak” akhirnya menjadi aktivitas yang mendominasi perkembangan awal IPMALAY.
Pada tahapan selanjutnya, dengan aktivitas “kumpul-kumpul” dan ‘’kongkow-kongkow’’ ini gagasan tentang IPMALAY mulai diwacanakan. Namun, sebagaimana seorang anak kecil yang baru saja membuka mata dan memandangi realitas sosial disekitarnya, kegamangan menjadi harga mati yang melekat pada perkembangan IPMALAY. Ditambah, bobroknya sistem sosial dalam konstruksi sosial masyarakat secara umum pada waktu itu berdampak pada tidak adanya upaya kontrol terhadap entitas ini.Tanpa adanya sebuah visi bersama, komitmen bersama untuk mengembangkan IPMALAY sesuai pada proporsinya sebagai sebuah organisasi, sebuah ikatan keluarga bagi pelajar dan mahasiswa dari Labuhanbatu, proses yang mendominasi pada tahap ini lebih pada proses yang berangkat dari pertimbangan pragmatis saja. Aktivitas yang dilakukan sebatas aktivitas-aktivitas yang diamini oleh sebagian besar partisipan, sebagai aktivitas yang “menyenangkan”.
Tidak adil kiranya meniadakan keberadaan minoritas pada waktu itu yang mungkin memendam gagasan-gagasan tentang arah yang semestinya dilalui oleh IPMALAY. Visi sebuah organisasi sulit untuk dilepaskan dari visi seseorang yang memang benar-benar memiliki cara pandang yang “benar” tentang organisasi, dan tidak cukup sampai di situ saja, seseorang tersebut harus berhadapan dengan dominasi mayoritas yang ternyata tidak cukup beralasan untuk dikategorikan sebagai mayoritas yang “benar”. Dan pada periode ini, visi dari pelaksana (pengurus) IPMALAY sebenarnya cukup solid. Dalam artian, segala aktivitas IPMALAY masih dapat dilaksanakan meskipun secara utuh kurang tepat sasaran. Mengingat aktivitas-aktivitas tersebut masih sebatas memfasilitasi proses anggota-anggota, yang artinya belum berupaya untuk “keluar kandang” dan berinteraksi dengan organisasi-organisasi diluar.
Pada babak berikutnya, kejadian-kejadian yang bersifat nasional dan berbagai realitas sosial sebagai efek bawaan dalam lingkup IPMALAY sendiri, turut berkontribusi bagi munculnya ide-ide kritis dari generasi-generasi berikutnya. Aktivitas-aktivitas yang dilakukan mulai bergeser pada koridor kesadaran kritis. Beragam upaya dalam rangka memperkuat fondasi organisasional yang tetap bertolak dari nilai kekeluargaan,mulai dirintis. Namun, benturan antara visi yang “jelas” yang dimunculkan orang-orang kritis di IPMALAY yang notabene masih terbilang minor bahkan sampai sekarang, dengan mayoritas “apatis”, tidak selesai.
Dengan beragam kejadian pada periode kepengurusan sebelumnya yang didominasi permasalahan internal yang lebih kepada masalah preferensi dan prioritas, yang berdampak pada sulitnya membangun silaturahmi antar anggota yang semakin bertambah dan kian tersebar di penjuru Jogja, ternyata tidak menyurutkan kebersamaan yang terbangun dalam IPMALAY.
“IPMALAY, masih mau status Quo?”
Sampai pada periode kepengurusan (2004-2007), dengan berbagai tawaran baru dalam upaya untuk tetap mengakomodasikan berbagai preferensi yang silih berganti masuk dalam pertumbuhan IPMALAY sebagai sebuah organisasi, kesulitan klasik tentang sikap dari kebanyakan anggota yang mengarah pada “apatisme” masih terjadi. Mirip dengan situasi dan kondisi yang dihadapi pada periode sebelumnya, terjebak dalam permasalahan partisipasi dan kontribusi baik dalam level pemikiran maupun kerja dari anggota masih rapuh.
Namun, terlepas dari beragam permasalahan klasik tersebut, adalah sebuah kesalahan, bila kemudian kita memilih untuk diam, menerima apa adanya, tanpa mengambil peran dalam sebah proses perubahan. Terkait dengan status Quo IPMALAY yang dipaparkan di awal gagasan, permasalahan klasik dalam lingkup internal organisasi yang bahkan sampai sekarang masih terjadi harus dipandang dan selanjutnya disikapi dengan cara yang baru. Bukan malah mempertahankan tawaran-tawaran lama yang membawa IPMALAY pada status Quo terhadap permasalahan di dalamnya. Terlebih dengan kecenderungan perkembangan dinamika sosial dalam skala nasional maupun global yang membawa sebuah konsekuensi logis berupa kompetisi global yang sangat sulit.
IPMALAY harus segera melakukan re-thinking terkait dengan dilematika internal dan tantangan global di luar wujud nyata dari proses re-thinking tersebut adalah mengembalikan visi awal IPMALAY dan selanjutnya memastikan bahwa masing-masing pihak yang terlibat di dalam maupun pihak-pihak yang terkait di luar IPMALAY memahami bahwa eksistensi IPMALAY adalah sebagai wahana proses “pendidikan” yang menjadi gagasan awal terlahirnya organisasi ini. Bukan semata-mata berkumpul dengan orang-orang yang secara historis kultural memiliki kesamaan. Proses “pendidikan” adalah sebuah proses yang seharusnya dimaknai lebih pada konteks proses yang terjadi didalamnya, bukan bentuknya yang terwujud dengan lembaga-lembaga maupun sistem berikut administrasinya yang telah terlegitimasi sebagai “pendidikan”(the main idea, not the form). Proses yang diharapkan dapat terbangun dari gagasan re-thinking IPMALAY ini tentunya hadirnya sebuah wahana yang efektif bagi kesinambungan proses belajar terutama bagi generasi-generasi muda IPMALAY di periode berikutnya.
Beragam aktivitas yang tengah diupayakan oleh para pengurus periode ini, telah membawa sebuah wacana baru bagi IPMALAY yang sebelumnya terkesan “terkungkung” di batasan-batasan lokal primordial saja. Bukan berarti mengesampingkan tujuan internal yang tetap harus dipertahankan, upaya-upaya strategis tersebut tetap dalam proporsi yang seimbang antara berdialog dengan realitas sosial di luar, dengan tanggungjawab sosial terhadap masyarakat Labuhanbatu, dari mana IPMALAY berangkat. Aktivitas-aktivitas seputar kepulangan putra-putri terbaik Labuhanbatu menjelang lebaran tahun ini, seperti “mudik bareng 2007” yang dikerjakan serentak dengan ikatan-ikatan dari kabupaten lainnya dilingkup Sumatera Utara, termasuk berbagai agenda program yang akan dieksekusi nantinya selepas hari raya, adalah sebuah upaya nyata menjaga keseimbangan proses internal dan keluar.
Tanpa bermaksud menyerah dan berhenti hanya pada tahapan ini saja, masih ada tugas berat IPMALAY yang belum terselesaikan yaitu menyiapkan kerangka proses regenerasi yang selalu menjadi momok dalam tiap organisasi. Lagi-lagi, bercermin pada sejarah pada periode-periode sebelumnya, sikap mental yang “apatis”, dalam bentuk nyata ketidakpedulian yang tidak hanya terjadi pada generasi sebelumnya, akan menjadi sebuah kerja yang sia-sia, jika semangat-semangat yang berhasil terangkat lewat beragam tawaran baru tersebut tidak menjadi sebuah proses yang berkesinambungan, dengan tidak adanya kesadaran kritis dari generasi berikutnya untuk melanjutkan perjuangan yang tidakpernah berhenti ini. Dengan itu semua, apakah IPMALAY masih akan bertahan dengan status Quo? TIDaaKK!!!!

0 komentar:

 
IPMALAY © 1988 | Designed by Lingkar Dalam Febri, in collaboration with IPMALAY | Ayo Update Kegiatan IPMALAY Dari Sini, Selamat Membaca