…“Progress IPMALAY!” 23 Maret

Senin, 24 Maret 2008 1 komentar

23 Maret 2008

Pengajian Rutin

Alhamdulillah, pengajian minggu ini masih dapat dilangsungkan dengan suasana yang khidmat dan semoga penuh keberkahan. Bertugas sebagai moderator adalah oleh Sdr. Tri Mardiantara. Seperti biasa agenda rutin kali ini berisi pembacaan surat Yasin bersama yang dipimpin oleh Sdr. Rio Hanesya kemudian dilanjutkan kuliah bersama yang diisi oleh Sdri. Laily Purnamasari dengan tema yang masih berkaitan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW pada 12 rabi’ul awal yang lalu.
Dalam ceramahnya, mbak Laily mengajak warga Ipmalay untuk selalu ingat pada sosok Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umat islam ke masa yang lebih baik dari masa jahiliyah sebelumnya.
Mbak Laily mengajak semua peserta pengajian untuk bersama merenungkan, jikalau seandainya Nabi Muhammad SAW saat ini datang berkunjung ke rumah kita masing-masing, apa yang akan kita rasakan? Apakah kita merasa senang atau justru akan merasa susah karena merasa terganggu kehidupan kita yang masih jauh dari tuntunan islam.
Muhammad SAW, A Ruby Among Stones

Peace and blessings be upon you! O RasulAllah, mercy upon mankind, teacher and guide!

Peace, one and all… According to most Sunni scholars, the Seal of the Prophets, Muhammad al-Mustafa alaihi al-salatu wa al-salam, was born on 12th Rabi al-Awwal. According to most Shi`a scholars, he alaihi al-salatu wa al-salam was born on 17th Rabi al-Awwal.


IPMALAY Basic Training

Acara Basic Training kali ini masih melanjutkan tema minggu-minggu sebelumnya yaitu menyangkut reposisi peran Ipmalay dalam dinamika masyarakat Labuhanbatu, dalam rangkaian Workshop ini, di tahap awal peserta diajak bersama-sama untuk mengenali kembali Ipmalay sebagai organisasi kekeluargaan, sekaligus sebagai salah satu kekuatan civil society mayarakat Labuhanbatu.
Bertugas sebagai moderator adalah Sdr. Darwis yang mengetengahkan tema pentingnya kita menuntut ilmu untuk kemudian dikembangkan dan diapikasikan demi pengembangan masyarakat Labuhanbatu khususnya, Bangsa Indonesia pada umumnya.
Pada minggu kali ini, masih berkaitan dengan moment peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW, peserta workshop diajak membangun diskusi dalam kelompok-kelompok kecil memahami makna yang terkandung dalam
Diskusi yang lebih dingin dari minggu sebelumnya, tidak mengurangi hangatnya silaturahmi yang terasa, ditambah pemahaman-pemahaman baru yang muncul sebagai bagian dari sharing knowledge yang terus dibangun diantara warga Ipmalay. Seperti biasa, konsep berbagi ilmu ini tentu saja juga melatih kemampuan berbicara, mendengar dan menulis serta menganalisa tema-tema yang didiskusikan.

Next Chapter: The Concept of Intellect in Islam

Imagine that the computer screen and all activity on the screen represents the world of material existence. The screen is considered as the horizontal dimension of the computer. A program is running that simulates a small universe complete with simulated beings....

Salam IPMALAY

Kamis, 13 Maret 2008 0 komentar

Salam IPMALAY


Sebuah proses pembelajaran tak akan pernah berhenti selama hayat masih dikandung badan...
Sebagai bagian dari proses hidup yang harus penuh warna, proses belajar juga harus selalu dibarengi dengan karya dan kreatifitas yang variatif dan evaluatif...
Disini dituntut kesadaran dan kemauan tinggi untuk mau selalu introspeksi sedalam-dalamnya pada proses yang telah dilalui, pada karakter yang telah terbentuk, pada idealisme yang telah terbangun dan pada mimpi-mimpi yang hendak diwujudkan....
Proses IPMALAY juga tak pernah lepas dari dinamika sosial yang harus mengikuti kaidah alam yang tak mungkin dikesampingkan, harus selalu diwarnai dengan karya, kreatifitas, dan pemaknaan yang tulus, jujur dan manusiawi, tanpa harus menghakimi dan menyalahkan siapapun, tanpa harus memaksakan diri, tanpa harus mengumpat, mencaci dan mencemooh...sebab ketidaksempurnaan adalah juga kaidah alam yang mau tidak mau membutuhkan pemakluman dan pengertian.
Media ini adalah media kita bertemu dan bersilturahmi dalam dunia akal dan fikiran, dalam dunia nurani yang tak butuh kaidah-kaidah sosial yang sering menyesakkan dada. Disini kita ditantang untuk bicara dengan tulisan dan mendengar dengan mata... rawan distorsi memang, tapi ini lebih baik ketimbang interaksi langsung yang harus dibareng dengan basa-basi, senyum palsu dan tawa kebohongan serta etika-etika normatif palsu lainnya.Media ini akan selalu hadir menjembatani silaturahmi kita dalam format yang lebih aman, jujur, dan minim distorsi. Akan selalu hadir memfasilitasi karya, kreatifitas dan mimpi-mimpi. Akan selalu memancing kita untuk jujur dan tulus menilai tanpa harus berpura-pura dan berbohong, karena disini tidak butuh etika normatif apapun selain etika jurnalisme.

…“Paradigma IPMALAY!”

0 komentar

…“Paradigma IPMALAY!”
Kontribusi Sahabat…
Perubahan-perubahan dalam berbagai aspek kehidupan bangsa ini menghembuskan angin segar bagi semua pihak, demikian pula yang terjadi dengan IPMALAY. Beberapa perkembangan terbaru yang terjadi seputar aktivitas yang dilakukan oleh para konstituen IPMALAY dalam menyikapi berbagai permasalahan baik dalam lingkup internal IPMALAY maupun dalam kaitannya dengan tanggungjawab sosial yang diemban sebagai sebuah organisasi dengan basis ide sosial-kultural ini adalah bentuk respon positif terhadap dinamika perubahan tersebut.
Dalam catatan sejarah yang tertoreh pada perjalanan IPMALAY, aktivitas-aktivitas dalam rangka membangun kerangka organisasi yang solid, mau tidak mau harus diakui telah menyita banyak energi dari masing-masing bagian di dalamnya. Sementara, berbagai perubahan di luar lingkup IPMALAY kadang terkesan menjadi terlalu cepat, menjadi sulit diakselerasi. Adalah sebuah misi yang hampir-hampir sangat “mustahil” diwujudkan. Bergelut dengan segala permasalahan internal, membangun silaturahmi yang menjadi fundamen bagi keberlangsungan nafas IPMALAY sebagai sebuah keluarga, pada saat yang sama juga harus tanggap terhadap tantangan dan kompetisi yang terjadi di berbagai dimensi lainnya.
Tanpa bermaksud untuk tampil arogan, aktivitas-aktivitas yang sering coba diwacanakan dan pada akhirnya digulirkan menjadi sebuah langkah konkrit dari IPMALAY, adalah sebuah pertumbuhan yang patut dibanggakan. Sampai sejauh ini, berbagai upaya tersebut dapat dikategorikan sebagai loncatan baik dalam aspek organisasional, aspek kekeluargaan, maupun efek dari kontribusi IPMALAY dalam kancah dinamika organisasi daerah di Jogja.
Sebagian besar agenda aktivitas strategis yang telah direalisasikan pada periode kepengurusan 2004-2007 dan dilanjutkan pada periode saat ini masih seputar pada aktivitas-aktivitas dalam lingkup internal seperti penyambutan anggota-anggota baru IPMALAY, aktivitas dalam aspek kependidikan dengan memfasilitasi dan mengakomodasi anggota-anggota baru untuk mendapatkan sekolah maupun perguruan tinggi yang sesuai, dan aktivitas pembinaan kesadaran dan mentalitas dengan berbagai program rutin yang telah ada sebelumnya semacam pengajian, diskusi-diskusi terus coba diupayakan guna menjamin kesinambungan dalam aspek pendidikan dan pemberdayaan sebagai tema besar yang menjadi sasaran utama eksistensi Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Labuhanbatu di kota Yogyakarta. Di luar, pada periode sebelumnya telah mulai diwarnai dengan aktivitas membangun kerjasama dengan pihak luar dengan rencana seminar, program-program sosialisasi dan silaturahmi dengan organisasi yang skalanya lebih besar seperti organisasi mahasiswa Sumatera Utara (Bukit Barisan). Bahkan sampai pada skala nasional dengan keterlibatan IPMALAY sebagai kostituen dalam program Pemkot Yogyakarta untuk membentuk sebuah forum pelajar mahasiswa se-Indonesia. Tentunya tidak berlebihan dengan adanya langkah-langkah strategis tersebut berbagai persoalan yang menjadi ‘PR’ bagi IPMALAY diharapkan dapat terselesaikan.Terlepas dari segala perkembangan tersebut, dinamika kehidupan tentu bukanlah sesuatu yang “final”. Hingar bingar panggung politik dengan berbagai dinamika yang menyertainya Berbagai konsep baru tersebut masih membutuhkan pemikiran dan kerja yang lebih keras lagi bagi para pengurus maupun para anggota untuk pada akhirnya mewujudkan cita-cita IPMALAY sendiri, sebagai akumulasi cita-cita masing-masing pihak di dalamnya dan cita-cita nasional bangsa INDONESIA. Akhir kata, perjuangan belum selesai bung!

WAJAH IPMALAY 1

0 komentar

WAJAH IPMALAY 1
Sebuah catatan perjalanan IPMALAY
(Ikatan Pelajar & Mahasiswa Labuhanbatu di Yogyakarta)
“Tends to change” adalah sebuah gejala psikis yang melekat dalam kedirian kita. Dalam tiap tahapan kehidupan, berbagai realitas sosial dan kecenderungan bahwa sejarah akan berulang, adalah “driver” bagi seorang manusia untuk terus terlibat dalam sebuah proses yang setali tiga uang dengan kompleksitas permasalahan yang mengikuti tiap perkembangannya. Hakikat bahwa manusia adalah mahkluk yang tumbuh dari realitas di sekitarnya membawa pada sebuah pemahaman tentang proses yang telah, sedang dan akan dijalani sebagai proses belajar yang tidak pernah berhenti (long life learning). Pertanyaan dalam subjudul di atas adalah sebuah titik awal bagi sebuah proses kontinu dalam upaya sederhana, memandang wajah IPMALAY dulu, dinamika proses IPMALAY sekarang, dan selanjutnya menggambarkan “Guideline” sebagai kerangka acuan bagi kesinambungan IPMALAY di masa yang akan datang.
Dalam beberapa diskusi informal yang secara intensif diselenggarakan oleh IPMALAY di sekretariat IPMALAY, beberapa fakta sejarah terkuak. Dalam nuansa bulan ramadhan dengan berbagai aktivitas persiapan menjelang lebaran, sepertinya tidak menyurutkan semangat-semangat kebersamaan yang tercermin dengan diskusi-diskusi informal tersebut, bahkan para “sesepuh” yang pernah terlibat dengan berbagai problematika IPMALAY dengan kebesaran hati masih menyempatkan untuk bercengkerama dengan adik-adiknya. Dari sinilah beberapa latar belakang munculnya gagasan yang pada akhirnya diwujudkan dengan IPMALAY, dibeberkan.
Berangkat dari sebuah kesadaran akan “tends to change”, akhirnya banyak lulusan terutama lulusan sekolah-sekolah menengah atas di Kabupaten Labuhanbatu, Sumatera Utara yang tersebar dalam beberapa titik konsentrasi, sebut saja Rantauprapat, Aek Nabara, Aek Kanopan, Kotapinang, Perlabian dan sekitarnya (PARIS) dan titik lainnya memutuskan untuk melanjutkan studinya ke Jogja. Dan bukanlah sebuah keputusan yang tanpa pertimbangan untuk memilih Jogja sebagai labuhan berikutnya. Citra yang terbangun tentang Jogja sebagai kota pendidikan, bukan sebuah fenomena lekang sampai sekarang.
Sampai pada akhirnya, niatan-niatan yang mengantarkan seseorang hingga akhirnya sampai di Jogja yang pada saat itu lebih pada niatan individu, membawa sebuah kecenderungan untuk lebih menguatkan niatan-niatan tersebut menjadi sebuah niatan bersama. Paling tidak dari aspek-aspek primordial,bahwa ada kesamaan yang melekat pada masing-masing individu. Perubahan niatan itu didasari juga oleh sebuah realitas lampau bahwa apa yang kita dapatkan di kampung halaman sangat jauh dari apa yang sesungguhnya diperlukan oleh seorang pelajar, yang mulai membaca adanya ketimpangan-ketimpangan pada sistem social yang ada. Dari proses membandingkan tersebut kemudian muncul kekhawatiran-kekhawatiran yang sangat perlu untuk diakomodasi. Proses “melacak” akhirnya menjadi aktivitas yang mendominasi perkembangan awal IPMALAY.
Pada tahapan selanjutnya, dengan aktivitas “kumpul-kumpul” dan ‘’kongkow-kongkow’’ ini gagasan tentang IPMALAY mulai diwacanakan. Namun, sebagaimana seorang anak kecil yang baru saja membuka mata dan memandangi realitas sosial disekitarnya, kegamangan menjadi harga mati yang melekat pada perkembangan IPMALAY. Ditambah, bobroknya sistem sosial dalam konstruksi sosial masyarakat secara umum pada waktu itu berdampak pada tidak adanya upaya kontrol terhadap entitas ini.Tanpa adanya sebuah visi bersama, komitmen bersama untuk mengembangkan IPMALAY sesuai pada proporsinya sebagai sebuah organisasi, sebuah ikatan keluarga bagi pelajar dan mahasiswa dari Labuhanbatu, proses yang mendominasi pada tahap ini lebih pada proses yang berangkat dari pertimbangan pragmatis saja. Aktivitas yang dilakukan sebatas aktivitas-aktivitas yang diamini oleh sebagian besar partisipan, sebagai aktivitas yang “menyenangkan”.
Tidak adil kiranya meniadakan keberadaan minoritas pada waktu itu yang mungkin memendam gagasan-gagasan tentang arah yang semestinya dilalui oleh IPMALAY. Visi sebuah organisasi sulit untuk dilepaskan dari visi seseorang yang memang benar-benar memiliki cara pandang yang “benar” tentang organisasi, dan tidak cukup sampai di situ saja, seseorang tersebut harus berhadapan dengan dominasi mayoritas yang ternyata tidak cukup beralasan untuk dikategorikan sebagai mayoritas yang “benar”. Dan pada periode ini, visi dari pelaksana (pengurus) IPMALAY sebenarnya cukup solid. Dalam artian, segala aktivitas IPMALAY masih dapat dilaksanakan meskipun secara utuh kurang tepat sasaran. Mengingat aktivitas-aktivitas tersebut masih sebatas memfasilitasi proses anggota-anggota, yang artinya belum berupaya untuk “keluar kandang” dan berinteraksi dengan organisasi-organisasi diluar.
Pada babak berikutnya, kejadian-kejadian yang bersifat nasional dan berbagai realitas sosial sebagai efek bawaan dalam lingkup IPMALAY sendiri, turut berkontribusi bagi munculnya ide-ide kritis dari generasi-generasi berikutnya. Aktivitas-aktivitas yang dilakukan mulai bergeser pada koridor kesadaran kritis. Beragam upaya dalam rangka memperkuat fondasi organisasional yang tetap bertolak dari nilai kekeluargaan,mulai dirintis. Namun, benturan antara visi yang “jelas” yang dimunculkan orang-orang kritis di IPMALAY yang notabene masih terbilang minor bahkan sampai sekarang, dengan mayoritas “apatis”, tidak selesai.
Dengan beragam kejadian pada periode kepengurusan sebelumnya yang didominasi permasalahan internal yang lebih kepada masalah preferensi dan prioritas, yang berdampak pada sulitnya membangun silaturahmi antar anggota yang semakin bertambah dan kian tersebar di penjuru Jogja, ternyata tidak menyurutkan kebersamaan yang terbangun dalam IPMALAY.
“IPMALAY, masih mau status Quo?”
Sampai pada periode kepengurusan (2004-2007), dengan berbagai tawaran baru dalam upaya untuk tetap mengakomodasikan berbagai preferensi yang silih berganti masuk dalam pertumbuhan IPMALAY sebagai sebuah organisasi, kesulitan klasik tentang sikap dari kebanyakan anggota yang mengarah pada “apatisme” masih terjadi. Mirip dengan situasi dan kondisi yang dihadapi pada periode sebelumnya, terjebak dalam permasalahan partisipasi dan kontribusi baik dalam level pemikiran maupun kerja dari anggota masih rapuh.
Namun, terlepas dari beragam permasalahan klasik tersebut, adalah sebuah kesalahan, bila kemudian kita memilih untuk diam, menerima apa adanya, tanpa mengambil peran dalam sebah proses perubahan. Terkait dengan status Quo IPMALAY yang dipaparkan di awal gagasan, permasalahan klasik dalam lingkup internal organisasi yang bahkan sampai sekarang masih terjadi harus dipandang dan selanjutnya disikapi dengan cara yang baru. Bukan malah mempertahankan tawaran-tawaran lama yang membawa IPMALAY pada status Quo terhadap permasalahan di dalamnya. Terlebih dengan kecenderungan perkembangan dinamika sosial dalam skala nasional maupun global yang membawa sebuah konsekuensi logis berupa kompetisi global yang sangat sulit.
IPMALAY harus segera melakukan re-thinking terkait dengan dilematika internal dan tantangan global di luar wujud nyata dari proses re-thinking tersebut adalah mengembalikan visi awal IPMALAY dan selanjutnya memastikan bahwa masing-masing pihak yang terlibat di dalam maupun pihak-pihak yang terkait di luar IPMALAY memahami bahwa eksistensi IPMALAY adalah sebagai wahana proses “pendidikan” yang menjadi gagasan awal terlahirnya organisasi ini. Bukan semata-mata berkumpul dengan orang-orang yang secara historis kultural memiliki kesamaan. Proses “pendidikan” adalah sebuah proses yang seharusnya dimaknai lebih pada konteks proses yang terjadi didalamnya, bukan bentuknya yang terwujud dengan lembaga-lembaga maupun sistem berikut administrasinya yang telah terlegitimasi sebagai “pendidikan”(the main idea, not the form). Proses yang diharapkan dapat terbangun dari gagasan re-thinking IPMALAY ini tentunya hadirnya sebuah wahana yang efektif bagi kesinambungan proses belajar terutama bagi generasi-generasi muda IPMALAY di periode berikutnya.
Beragam aktivitas yang tengah diupayakan oleh para pengurus periode ini, telah membawa sebuah wacana baru bagi IPMALAY yang sebelumnya terkesan “terkungkung” di batasan-batasan lokal primordial saja. Bukan berarti mengesampingkan tujuan internal yang tetap harus dipertahankan, upaya-upaya strategis tersebut tetap dalam proporsi yang seimbang antara berdialog dengan realitas sosial di luar, dengan tanggungjawab sosial terhadap masyarakat Labuhanbatu, dari mana IPMALAY berangkat. Aktivitas-aktivitas seputar kepulangan putra-putri terbaik Labuhanbatu menjelang lebaran tahun ini, seperti “mudik bareng 2007” yang dikerjakan serentak dengan ikatan-ikatan dari kabupaten lainnya dilingkup Sumatera Utara, termasuk berbagai agenda program yang akan dieksekusi nantinya selepas hari raya, adalah sebuah upaya nyata menjaga keseimbangan proses internal dan keluar.
Tanpa bermaksud menyerah dan berhenti hanya pada tahapan ini saja, masih ada tugas berat IPMALAY yang belum terselesaikan yaitu menyiapkan kerangka proses regenerasi yang selalu menjadi momok dalam tiap organisasi. Lagi-lagi, bercermin pada sejarah pada periode-periode sebelumnya, sikap mental yang “apatis”, dalam bentuk nyata ketidakpedulian yang tidak hanya terjadi pada generasi sebelumnya, akan menjadi sebuah kerja yang sia-sia, jika semangat-semangat yang berhasil terangkat lewat beragam tawaran baru tersebut tidak menjadi sebuah proses yang berkesinambungan, dengan tidak adanya kesadaran kritis dari generasi berikutnya untuk melanjutkan perjuangan yang tidakpernah berhenti ini. Dengan itu semua, apakah IPMALAY masih akan bertahan dengan status Quo? TIDaaKK!!!!

WAJAH IPMALAY 2

0 komentar

WAJAH IPMALAY 2
ADAKAH KATA TERLAMBAT UNTUK BELAJAR MEMBACA?
buah fikir seorang sahabat berfikir @ji , feb ‘05

Proses pembelajaran dalam berbagai bentuk dan medianya tidak akan pernah lepas dari aktivitas tersebut dalam judul di atas. Sebagaimana telah tertuang dalam berbagai tulisan dan gagasan baik yang terpublikasikan maupun yang hanya bersifat konvensi dari masyarakat karena imbas dari akulturasi budaya, membaca bukanlah semata-mata hanya merangkai aksara demi aksara yang pada akhirnya mempunyai makna tertentu yang akan sangat berbeda dengan entitas huruf jika entitas tersebut masih berdiri sendiri. Sebelum akhirnya menjadi sebuah pengetahuan yang bernilai bagi manusia.
Dalam perkembangannya, manusia dituntut untuk semakin pandai dalam membaca sejalan dengan perkembangan kejiwaannya. Tanpa adanya dukungan kapasitas membaca yang baik, ketimpangan antara perkembangan kebutuhan manusia yang sangat erat hubungannya dengan perkembangan kejiwaan seseorang akan menjadi permasalahan laten yang mau tidak mau harus dihadapai. Tanpa bermaksud untuk mereduksi gagasan awal tentang aktivitas ini dengan terlalu mempermasalahkan teori-teori yang membangun dan menyertai perkembangan aktivitas ini, kita, sadar atau tidak disadari, masih sering terjebak dalam lubang yang disebabkan pembacaan yang salah. Era otonomi daerah dengan berbagai isu-isu ‘strategis’nya sebagai wujud perkembangan dalam aspek pengelolaan dan pelaksanaan kebijakan daerah, perkembangan peradaban manusia melalui berbagai ekstensinya seperti teknologi informasi dengan komputer, internet, mobilephone, fashion, dan berbagai karakteristik yang menjadi parameter dan sekaligus sebagai indikator perkembangan peradaban, telah banyak disalahartikan oleh para ‘muda’harapan bangsa kita. Kesan yang muncul dan diterima oleh masyarakat yang lain justru kontradiktif dari niatan awal yang menjadi pemicu munculnya berbagai perkembangan tersebut. Tidak tepat kiranya ketika kemunculan fenomena-fenomena tersebut tidak diartikan sebagai perkembangan. Namun akan sangat ironis jika dengan munculnya berbagai gagasan baru tersebut tidak ditindaklanjuti dengan arah gagasan yang tepat dan strategis.
Telah cukup terpahamkan bagi kita bahwa ilmu bukanlah sesuatu yang given. Dan, kalaupun hal tersebut kita artikan secara terbalik, tidak akan mempengaruhi kemurnian dan kemuliaan proses menuju ilmu itu. Bukan semata tentang ilmu itu sendiri. Penanganan konflik atau manajemen konflik, manajemen perubahan, adalah beberapa ‘ilmu’ baru bagi beberapa kalangan. Bahkan mungkin mayoritas masyarakat Indonesia. Tidak familiernya masyarakat dengan istilah ini sajapun, bukan berarti masyarakat tidak pernah mengalami dan merasakan fokus kajian dari ilmu tersebut. Justru sebaliknya, masyarakat Indonesia yang kenyang dengan pengalaman konflik dalam berbagai motifnya sebenarnya telah membentuk pemahaman bagi masing-masing tentang hal-hal yang baru tersebut, meskipun batasan-batasan obyektifitas yang senantiasa dibutuhkan bagi terlegitimasinya sebuah ilmu masih belum jelas. Namun sekedar informasi, di UGM, studi tentang hal tersebut bahkan telah sampai pada hal-hal kecil yang akhirnya dibentuk dalam sebuah jurusan bagi mahasiswa pascasarjana. Sebagaimana jurusan tersebut, ada lagi jurusan-jurusan ‘baru’ seperti politik lokal dan penyusunan kebijakan daerah, yang dalam beragam bahasa, kami sendiri sebagai mahasiswa masih berusaha membaca kemunculan fenomena-fenomena baru tersebut sebagai bentuk aktualitas UGM dalam memberikan jaminan mutu kelulusan mahasiswanya. Tapi, siapakah orang yang benar-benar dapat memberikan jaminan bagi tercapainya tujuan pendidikan yang telah dikupas tuntas, tas, tas, dalam buletin sebelumnya, sekarang maupun dalam berbagai media yang lain yang telah disepakati sebagai sebuah proses (the main idea not the form) ?
Terkait dengan masalah organisasi kedaerahan, maupun aktivitas politik dalam level yang lebih tinggi, beberapa waktu lalu IPMALAY mengalami beberapa konflik di lingkup internal dalam berbagai level pemahaman. Sebenarnya terlalu arogan untuk menggunakan hierarki pemahaman yang akan memunculkan si bodoh dan si pintar, tapi demikianlah adanya, bahwa akibat pembacaaan permasalahan sosial yang tentunya membutuhkan kemampuan membaca yang lebih dari sekedar merangkai aksara yang salah, akan menimbulkan pemahaman yang salah. Tanpa adanya kontrol sosial yang tegas akan berdampak pada penyesatan pemahaman, pembodohan, dan beragam adampak negatif yang lain di masa mendatang. Pada saat sekarang atau dulu, kita senantiasa terjebak pada cara orang ‘menjual’ gagasan bahkan tentang masa depan bukan hanya masa depan si penjual namun juga masa depan orang yang membeli jualannya. Selain konflik yang terkait dengan pemahaman, muncul juga konflik yang lain berkaitan dengan perimbangan (dalam bentuk yang lebih solid) hak dan tanggungjawab. Bukan kewajiban. Efektifitas kegiatan di sela-sela aktivitas akademik di kampus tentu membutuhkan kesiapan pembacaan tentang beragam kecenderungan yang akan muncul dengan ragam karakteristik kepribadian yang harus dapat terfasilitasi demi eksistensi gagasan utama dari kegiatan IPMALAY sendiri. Argumen tentang efektifitas dan komitmen terhadap tujuan perjuangan IPMALAY sendiri masih senantiasa membawa dampak yang dalam banyak cara masih disalah artikan sebagai pemanfaatan bukan pemberdayaan. Lagi, salah membaca!Dengan sekian contoh permasalahan dan ribuan permasalahan yang mungkin akan datang, masih pantaskah kita mempertanyakan : “apa kita tidak terlambat untuk belajar membaca ?” . mungkin anda akan memilih untuk menjawab YA!dan tergilas peradaban akibat sebuah kesalahan dalam ‘MEMBACA’.

WAJAH IPMALAY 3

0 komentar

WAJAH IPMALAY 3

“Manusia Pejuang Vs Manusia Bayaran’’
buah fikir seorang sahabat berfikir Rukman, feb ‘05

Manusia adalah kesatuan wujud yang sangat unik dan kompleks. Banyak hal yang membedakannya dengan makhluk lainnya di jagad ini, baik di lihat dari segi bentuk maupun fungsi. Dari bentuknya yang tidak ada manusia dilahirkan sama menampakkan betapa kompleksnya hasil evolusi dari perkawinan antara gen Adam dan Hawa. Hasil adaptasi dengan alam menghasilkan budaya serta perilaku yang berbeda. Perkembangan manusia selanjutnya sangat dipengaruhi oleh kemampuannya (akal pikiran) yang memang sangat berbeda dari segala makhluk yang ada di bumi dari golongan yang sangat renik (baca; virus) sampai mamalia bahkan dari golongan Cordata sekalipun yang diduga oleh para ahli memiliki hubungan kekerabatan yang paling dekat dengan manusia. Ilmu pengetahuan antariksa menprediksi bahwa di planet Mars di huni oleh makhluk yang lebih cerdas dari manusia, namun belum ada bukti sampai saat ini, manusia telah mengirimkan satelit penjelajah sampai ke sana, tetapi belum ada utusan dari Mars yang sampai di bumi. Bukan saja teknologi canggih saja yang menandai kehebatan manusia, tetapi banyak hasil karya manusia dalam bentuk pemikiran atau pahan, dari paham yang sangat humanis sampai paham-paham yang sangat ekstrem bahkan mengarah pada sesat pikir.
Manusia sebagai khalifah di muka bumi selayaknya berpikir kembali akan peran dan tanggung jawab yang telah di bebankan kepadanya. Di satu sisi manusia telah mengukir sejarah yang sangat mengagumkan, tetapi terkadang kita tidak percaya bahwa sesungguhnya manusia telah menyebabkan kerusakan yang teramat sangat besar. Bukan saja kerusakan alam secara fisik, tetapi yang sangat besar adalah kerusakan pikiran, manusia mulai samar dalam menentukan garis batas antara hak dan kewajiban, serta semakin kesulitan dalam membentuk pola hubungan interaksi sosial yang sehat dan manusiawi antara manusia dengan manusia secara pribadi, interaksi antara kelompok dengan kelompok, interaksi bangsa dengan bangsa. Kita telah mengenal banyak cara dan banyak wadah yang dapat kita gunakan untuk saling berinteraksi (mungkin kita tidak bermasalah dengan wadah), tetapi apakah di dalam wadah tersebut kita bisa menemukan apa yang kita cari?, kebenaran?, keadilan?, kemerdekaan? dan lain-lain yang tercabut dari akar kemanusiaan kita?. Cukupkah agama dalam membentuk pribadi manusia yang sadar akan kemanusiaannya, mampukah Presiden 2004/2009 sebagai hasil pemilu paling demokratis di dunia membawa bangsa ini ke pada perubahan yang cepat dan mendasar, berpihak pada kepentingan rakyat? Dalam pentas dunia bisakah PBB dijadikan lembaga yang independen dalam menyelesaikan konflik internasional. Kita semakin sulit menemukan wadah yang benar-benar bebas dari kepentingan, yang hanya memperjuangkan kebenaran seperti yang terikrar pada saat pendiriannya?
Mari kita susun kembali pikiran-pikiran kita untuk menemukan kebenaran yang mendasar, kebenaran yang tanpa dibelengu oleh berbagai pikiran-pikiran sempit, kebenaran yang terbebas dari kepentingan sekelompok orang. Sepanjang zaman kebenaran selalu di temukan melalui jalan filsafat, dengan membangkitkan pertanyaan-pertanyaan yang sangat mendasar dan muncul dari kondisi kejiwaaan yang bening, bebas dari tujuan apapun selain untuk menemukan kebenaran itu sendiri. Setelah kita menemukan jawaban-jawaban yang paling mendasar diharapkan kita akan memiliki dasar untuk bertolak menuju jalan yang lurus dan menerus.
Setiap manusia mempunyai keinginan dan ambisi untuk menjadi berbeda dan lebih dari orang lain, berpengetahuan lebih, berkarya lebih, berpartisipasi lebih, memiliki kepedulian lebih, yang intinya ingin memaksimalkan potensi yang ada pada dirinya. Namun tidak jarang dalam mencapai ambisi tersebut tanpa disadari atau mungkin kita sengaja, kita telah melakukan perbuatan yang jauh dari etika dan moral.
Dari sejak dilahirkan alam telah mengkondisikan manusia untuk berjuang mengatasi segala bentuk hambatan yang ditimbulkan oleh keterbatasan pisik, indra, pikiran, emosi, mental kejiwaan dan lain sebagainya. Untuk mengatasi keterbatasan tersebut diperlukan usaha yang keras dan tidak mengenal henti disertai dengan kontrol diri yang tinggi. Melalui kontrol diri yang baik akan lahir sebuah kesadaran nurani yang dibangkitkan dari energi positif yang ada dalam jiwa kita. Dengan kesadaran nurani ini setiap bentuk ambisi akan diperjuangkan dengan cara yang manusiawi dan bertujuan untuk mengangkat harkat dan nilai kemanusiaan tanpa menghianatinya walau dengan cara yang terselubung. Hanya dengan mencapai kesadaran nurani yang tinggi seorang benar-benar bisa menjadi manusia pejuang. Seorang yang benar-benar manusia pejuang tidak akan tinggal diam ketika saudaranya, sesamanya, ataupun manusia lain walaupun berada di dunia lain sekalipun dirampas hak hidupnya, dimarginalkan dengan berbagai cara yang di kemas dengan baju modernitas, dieksploitasi sumberdaya alamnya. Manusia pejuang selalu berusaha memunculkan kesadaran ditengah-tengah lingkungannya, kesadaran untuk terus melawan setiap bentuk penjajahan sehingga tidak ada lagi manusia-manusia yang tertindas di muka bumi ini.
Disetiap perjalanan sejarah yang selalu terekam oleh waktu, kita dapat melihat bahwa begitu banyak orang yang menyuarakan kemanusiaan, orang yang memiliki konsep-konsep sistematis dan logis dari setiap persoalan yang tumbuh subur dalam tatanan sosial masyarakat kita, mereka siap naik pentas untuk bertarung dengan mengerahkan semua kemampuannya untuk memenangkan pertarungan. Setiap pertarungan pasti harus ada yang jadi pemenang dan harus ada yang kalah. Namun bagaimana jika diantara petarung-petarung itu hanya siap untuk jadi pemenang, mereka tidak siap untuk menerima kekalahan. Dengan berbagai alasan menyangkal hasil akhir pertandingan. Mungkin ini sedikit fakta dari proses demokrasi yang baru saja terjadi di negeri ini. Agenda sakral yang harus dilaksanakan oleh bangsa ini, yang tidak boleh gagal, yaitu memilih siapa yang berhak atas plat dengan nomor INDONESIA 1 ternyata masih menyisahkan sedikit kelucuan dari masa kanak-kanak kita Sikap-sikap yang di pertontonkan setelah pertarungan usai seakan membuat cacat proses panjang yang melelahkan, yang telah mempertaruhkan soliditas masa sampai ke tingkat akar rumput, komunitas yang sangat awam dan rawan terhadap perubahan-perubahan isu-isu sentral. Kita semua tahu bahwa tidak ada satu pejuangpun yang benar-benar berjuang dengan kejujuran penuh, dengan niatan tulus 100 % memperjuangkan kepentingan rakyat!!! Sesungguhnya kedewasaan itu malah dicontohkan oleh rakyat dari golongan sudra, golongan yang jauh dari pemahaman demokrasi, segmen yang hanya mengikuti harapan bahwa suatu saat para petarung mampu menggulirkan perubahan yang memang di tunggu-tunggu. Mengapa rakyat kita lebih berhak untuk disebut sekedar sebagai guru yang bijak? Sesungguhnya mereka telah mengetahui (rahasia umum), bahwa memang tidak ada yang bermain dengan kejujuran penuh, yang berarti sedikit ada kelalaian untuk mematuhi aturan dari para pejuang idola kita, tetapi dengan antusias mereka dapat mengesampingkan hal-hal seperti itu, dan pada akhirnya rakyat kita tetap nyoblos. Sungguh hal yang luar biasa, seharusnya para pejuang yang bermain di level atas mampu membaca fenomena ini, dan kalau mereka tahu mungkin mereka akan tersenyum malu, atau mungkin mereka akan mengerutkan dahi dan seraya bertanya apa benar rakyat secerdas dan sebijak itu dalam bersikap? Wahai para bapak bangsa mulailah untuk menari bersama melodi yang didendangkan dari nurani rakyat walau mengalun dari puncak gunung yang sunyi, minumlah dari cawan yang berisi air derita berkepanjangan mereka, singgahlah di peristirahatan rakyatmu yang terbuat dari balai bambu, yang tersembunyi di lorong-lorong gua yang tak terusik oleh dering ponsel. Wahai sang pemenang pertanggung jawabkanlah setiap ide-ide luhurmu, pemikiran-pemikiran cemerlangmu, wujudkanlah janji-janjimu. (hati-hati dap?!! tulisanne mulai ngawurrrr, jangan asal kritik...).
Bagi pejuang yang belum beruntung, hendaknya berlapang dada, proses demokrasi tidak selayaknya menghasilkan pemenang atau pihak yang kalah, tetapi menjadi sebuah sistem yang paling adil yang diakui sebagian besar umat di bumi untuk melakukan pergantian pengemban amanat rakyat. Baik yang meraih nomor plat INDONESIA 1 ataupun yang belum beruntung semuanya adalah para anak bangsa yang memiliki cita-cita untuk membawa bangsa ini menjadi bangsa yang maju dan bemoral. Tidaklah kita harapkan bila masing-masing tokoh-tokoh yang sangat berpengaruh ini kemudian masih tidak puas dengan apa yang terjadi. Harus diakui bahwa ketika pesta demokrasi berlangsung kekuatan rakyat terdiferensiasi menurut arah pemikiran yang di kehendaki, terkotak-kotak atau mungkin saling bertentangan satu dengan lainnya. Sekarang kita harus memandang ke depan, semua kita menginginkan perubahan yang positif, oleh karena itu migrasi pemikiran menjadi sangat penting artinya dalam mempersatukan kembali semua elemen dan kekuatan yang beragam tanpa dengan maksud melakukan proses fusi yang membunuh keanekaragaman.
Bila semua elemen dapat solid mungkin kita akan mendapatkan kekuatan dengan kadar 100 % (kekuatan positif untuk membangun), yang sangat ampuh dalam membenahi kondisi rumah nusantara kita. Kekuatan itu akan muncul bila setiap elit berusaha untuk turut menjadi agen perubahan, dengan mendukung pemegang kepercayaan rakyat tanpa melupakan peran kontrol. Kondisi yang sering kita temukan pasca pesta demokrasi adalah munculnya oposisi-oposisi yang mencari kelemahan yang dijadikan alat untuk berusaha membangkitkan opini ketidakpercayaan publik. Berawal dari sini instabilitas politik terjadi, kondisi seperti ini menjadi sangat baik sekali untuk bermain, membaca peluang dan kemungkinan yang dapat dijadikan pintu masuk ke ruang konflik dan kemudian menempati posisi-posisi lemah lawan. Kita semua harus mewaspadai orang-orang seperti ini, orang yang berjuang tanpa landasan yang jelas, pejuang yang hanya mencari keuntungan pribadi. Pejuang yang hanya mempedulikan posisi kelompok dan golongan. Pejuang-pejuang palsu begitu banyak di negeri yang kita cintai ini, termasuk di dewan terhormat DPR. Bayangkan sikap mereka yang melakukan aksi boikot-boikotan sidang, sepertinya mereka tidak berpikir kalau mereka adalah mewakili seluruh rakyat negeri ini, sungguh memalukan untuk kualitas dan kapasitas sebagai utusan yang menjadi penyambung lidah rakyat. Ketika didudukan di kursi yang paling banyak diinginkan oleh setiap orang di republik ini (di samping kursi WHO WANT’s TO BE A MILIONARE), di bayar dengan ‘RP’ besar, posisi dan legitimasi jelas diakui, tetapi ternyata masih mengabaikan peran dan tanggungjawabnya, kata apa yang pantas untuk menyebut orang-orang seperti ini???,
Sungguh bijak jika kita semua berpikir bahwa ada tujuan yang luhur dan mulia yang ingin kita capai bersama, perjuangan yang kita lakukan tidak harus dibayar dengan imbalan berupa apapun dalam bentuk apapun, apalagi sesuatu yang berwujud meterial atau bahkan kedudukan tinggi, tetapi pejuang sejati akan mendapatkan kepuasan batin yang luar biasa karena dapat memberikan apa yang ada pada dirinya untuk bangsa ini. Sekali-kali tidaklah berarti apa-apa bila perjuangan kita hanya untuk mengharapkan bayaran. Perjuangan yang di jalankan oleh ambisi ‘’fight & take’’ akan menjadi kekuatan penghancur yang lambat laun akan meruntuhkan segala apa yang telah kita bangun bersama, apa yang diperjuangkan oleh para pendahulu kita dengan tetesan darah dan air mata, yang tidak dapat dinilai dengan apapun juga.
Mari kita semua sepakat jika kita benar belum MERDEKA........!! Dan harus kita akui bahwa untuk meraih kemerdekaan intu akan manjadi semakin berat sebab lawa-lawan yang kita hadapi memakai baju yang sama, mereka adalah saudara-saudara sebangsa kita sendiri, yang berada di satu tenda, yang sama-sama meneriakkan reformasi atau jika masih kurang, revolusi.
Mari kita bersama-sama meragukan komitmen kita, meragukan ketulusan kita, meragukan kemampuan kita, meragukan hasil perjuangan kita, meragukan tujuan yang kita kejar, meragukan kebenaran jalan yang kita lalui. Teruslah pertanyakan pada nurani, karena kita bersandar pada indera yang hanya menangkap segalanya dengan semu, bukan yang sejati. Biarkan jiwa kita mengembara biarkan pikiran kita sesat sesaat tapi hati kita sesungguhnya mengejar keyakinan yang hakiki. Dari proses meragukan itu semoga mengalir gairah untuk terus berproses, terus berusaha mencari terminal terakhir dimana kebenaran ada, walau sampai akhir napas kita.
Wallahuallam.............................

MENATAP KEMBALI SEBUAH PENDIDIKAN

0 komentar

MENATAP KEMBALI SEBUAH PENDIDIKAN
buah fikir seorang sahabat berfikir @ji , feb ‘06

Dengan beragam resiko terutama anggapan retoris dan normatif yang paling mungkin muncul ketika mendengar istilah pendidikan, bukanlah argumen yang rasional bagi sebuah wacana untuk dikubur begitu saja. Terlebih tentang pendidikan. Apa yang telah kita dapat dari proses menuju seorang terdidik, ternyata tidak banyak merubah keadaan yang kita hadapi. Tanpa meniadakan perubahan yang telah maupun yang sedang dilakukan untuk tetap bertahan dalam proses hidup yang progresif, bukan tanpa alasan ketika kita harus menatap secara utuh sebuah proses yang bertajuk pendidikan tersebut.
Terlepas dari beragam pemahaman yang dimunculkan para ilmuwan tentang hakikat pengertian waktu, anggapan yang telah “diterima” adalah bahwa waktu bergerak progresif menuju ke ujung yang sampai saat ini belum terpetakan oleh kajian keilmuan. Terkait dengan proses pendidikan, perkembangan proses ini dari berbagai tahapan dan berbagai jenis dan skalanya seakan bergerak “mundur”, untuk tidak terjebak pada pemahaman sempit dari “tertahan”. Dimensi waktu dengan berbagai tanda-tanda unik di tiap bagiannya, agaknya terlalu cepat untuk direspon dan pada akhirnya disikapi dengan benar oleh seorang manusia. Bagi beberapa orang yang lebih memahami permasalahan tersebut, pilihan untuk membagi pemahaman tersebut dengan kepada orang lain, terbentur berbagai batasan yang pada akhirnya membawa dominasi pengetahuan dan elitisme intelektual sebagai resultan dari proses mulia tersebut(pendidikan). Batasan-batasan seperti apakah yang menghambat proses transfer pengetahuan ini? Kelembaman kultural, yang berkaitan dengan pembentukan perilaku adalah salah satu batasan yang “tampak” selain batas-batas lainnya
Pendidikan dalam wujud nyatanya yang terlegitimasi oleh konsensus masyarakat sebagai objek pendidikan pada praktiknya tidak bisa terlepas dari kecenderungan pembentukan kebiasaan yang memiliki dikotomi selain sebagai proses menuju kesadaran, juga sebagai batasan yang menghambat kesadaran itu sendiri. Dalam kaitannya dengan proses pendidikan yang dianggap tidak mampu berbuat banyak untuk menghasilkan output yang sesuai dengan proses yang disusun, yaitu kesadaran kritis. Kesadaran untuk tidak terjebak pada kebiasaan yang telah terbangun bahkan dalam prosses pendidikan itu sendiri. Dalam tahapan selanjutnya, sesudah pendidikan formal yang harus dijalani seseorang, kesadaran kritis adalah komponen utama bagi berkembangnya pemahaman seseorang terkait dengan kemampuannya untuk membentuk kerangka aktualisasi pemahaman yang dimilikinya. Sebagaimana jargon yang digunakan pemerintah dalam gagasan otonomi daerah, “respon” adalah kunci utama keberhasilan upaya pelayanan dalam mindset pemerintahan yang baru.
Dengan argumen tersebut, kiranya tidak berlebihan jika tujuan proses pendidikan yang dikukuhkan dalam bentuk kurikulum pada level formal adalah pembentukan sense, kepekaan yang akan menghasilkan kesadaran kritis. Berangkat dari premis yang tertuang dalam keseluruhan tema yang ingin diwujudkan lewat buletin ini, bahwa tidak yang final dalam proses yang harus dilalui oleh seorang manusia, dalam lingkup internal maupun dalam kaitanya dengan realitas diluar dirinya, tidak ada alasan bagi siapapun yang sadar akan keterlibatannya dalam proses pendidikan untuk berhenti pada pemahaman pendidikan yang telah ada di kepala masing-masing.
Sulit untuk beranjak dari kebiasaan yang telah terbangun. Lantas, upaya seperti apa yang harus dan dapat kita lakukan sekarang terkait dengan keterlanjuran yang ada? Langsung merombak seluruh kebiasaan bukanlah solusi yang cukup tepat. Perubahan yang ingin dihasilkan dari pemahaman tentang proses pendidikan bukanlah perubahan yang ekspolsif, rigid yang cenderung menimbulkan masalah baru berupa eforia. Perubahan yang ingin diwujudkan adalah perubahan pada tataran pemahaman, gagasan, dan ide. Bahkan tentang perubahan itu sendiri. Berkembangnya pemahaman pengetahuan seseorang ternyata tidak bisa dipastikan sebagai ukuran keberhasilannya menghadapi realitas yang berkembang di sekitarnya. Yang banyak terjadi masih tidak jauh dari ungkapan kegamangan, ketidaktahuan ketika harus mengaktualisasikan pengetahuan tersebut. Aktualisasi pengetahuan yang telah ada, divonis sebagai korban keterlanjuran yang telah ada sebelumnya. Bahwa bangsa kita bukanlah bangsa yang memiliki kontrol terhadap perkembangan pengetahuan. Bangsa inilebih terbiasa sebagai konsumen pengetahuan.
Lagi, gagasan di atas apakah lantas menjadikan kita berpikir apologis dengan berserah diri pada kesadaran magis yang (juga) telah sangat subur tumbuh di iklim keputusasaan yang seakan menjadi “warisan” bagi bangsa dengan track record seperti Indonesia ?
Terlalu “ngoyo woro” kalau kita mencoba dengan berbagai janji-janji sebagai bentuk optimisme, salah satu bahan yang sempat dicuri ganasnya masa transisi yang terjadi di Indonesia. Bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, yang terpahamkan di kepala mereka ternyata bukan lagi perubahan tatanan, seperti yang pernah mereka tuntut setelah masa represif orde baru. Justru malah mereka lebih bisa menjalani kehidupannya dengan tenang, minim konflik pada tatanan lama tersebut. Tapi, reformasi dan berbagai dinamika yang menyertainya sampai saat ini tidak memberi kesempatan lain bagi kita selain terus maju ke medan kegamangan, dimana kita harus menilai, mengukur dan menghadapi sendiri musuh kita yang tidak pernah kita temui sebelumnya. Terkait dengan upaya pendidikan, sebagai upaya yang paling strategis dan realistis bagi bangsa ini, dalam artian bukan untuk memenangkan kompetisi global yang “liar”, gagasan untuk mengembalikan established value yang telah terbangun menuju pada core value pendidikan, diharapkan dapat menjadi titik terang bagi kegamangan bangsa ini. Wujud dari gagasan yang telah dirintis melalui KBK (kurikulum Berbasis Kompetensi) pada pendidikan dasar dan menengah dan jaminan mutu kualitas lulusan perguruan tinggi yang beberapa waktu yang lalu ditandatangani oleh beberapa rektor dalam sebuah nota kesepakatan, masih membutuhkan kontribusi dari kita (baca: pelajar, mahasiswa, pemuda) sehingga kita ikut berperan dalam upaya “bertahan” secara menyeluruh.
Sejauh ini, kontribusi yang paling sering muncul dari golongan tersebut tidak lebih dari mengkritisi dan mencari kelemahan gagasan yang dimunculkan para pendahulu (yang lebih dulu) yang mungkin tidak lebih menyentuh hal-hal yang justru kita yang lebih dapat merasakannya. Membentuk kerangka aktualisasi yang konstruktif bagi kita sendiri dan masyarakat adalah salah satu core value yang ingin diwujudkan oleh banyak pihak terutama dari kalangan muda, yang merasa akan menjadi sebuah value added process ketika sebuah pengetahuan meskipun sedikit dapat terrealisasi dalam sebuah solusi konkrit bagi masyarakat. Dan hal ini sangat tidak bertentangan dengan proyeksi mewujudkan pendidikan dengan nilai-nilai yang kokoh terbangun dalam tiap-tiap implementasinya.
Dan untuk mewujudkan established value bukanlah kerja yang selesai dalam rentang waktu yang dimiliki oleh sebuah generasi. Bisa jadi manfaat dari gagasan yang dimunculkan baru bisa dirasakan oleh anak cucu kita.
Sekedar mengulangi, tanpa adanya ketulusan dalam menjalani sebuah proses terutama pendidikan, mulut kepicikan telah menganga dan menanti anda datang tanpa pernah tahu bahwa anda sedang menuju ke sana. Berikutnya adalah giliran anda untuk menentukan pilihan tentang proses yang ingin anda jalani. Semua perubahan besar berawal dari perubahan dalam diri kita sendiri. Kuno? mungkin. Terserah bagaimana anda menatap kembali kesimpulan tersebut.

REPOSISI ORGANISASI DAERAH

0 komentar

REPOSISI ORGANISASI DAERAH

“Sebuah upaya strategis atau apologis ?”
Reborn by AdJiE!
Fenomena organisasi daerah adalah realitas klasik bagi masyarakat intelektual (baca : mahasiswa) Indonesia, terutama yang menjalani masa studinya di luar daerah asalnya. Salah satu catatan sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan, peran organisasi pemuda daerah, mutlak memainkan bagian penting dalam keseluruhan skenario perjuangan bangsa Indonesia. Masih terlalu melekat dalam ingatan bangsa Indonesia,28 Oktober 1928, kurang lebih 76 tahun yang lalu,betapa pernyataan bersama dari organisasi pemuda di seluruh penjuru tanah air seolah menjadi penyejuk di tengah gerahnya para pejuang akan penjajahan yang dialami, dan menjadi penyulut semangat perjuangan yang telah kelelahan. Dengan pernyataan bersama sebagai sebuah komitmen untuk berbangsa, bertanah air dan berbahasa satu dalam ruang perjuangan itu memandu arah perjuangan yang tadinya terpecah, menjadi lebih terintegrasi dan strategis.
Dalam dinamika perkembangan bangsa, dimanapun, sulit untuk dihindari bahwa peran generasi muda sangat vital bagi konsistensi sebuah perjuangan. Dalam babak-babak perjuangan, baik merebut, mempertahankan atau membangun sebuah kemerdekaan, kontribusi dari generasi muda seakan menjadi satu-satunya tolok ukur dan indicator bagi keberhasilan perjuangan tersebut. Budi Utomo, Sumpah Pemuda adalah salah satu contoh wakil genre dan hasil dari upaya pemuda sebagai pendobrak perjuangan bangsa ini. Simak juga kekhawatiran seorang JFK terhadap kecenderungan yang mewabah di kalangan muda Amerika sebagai dampak pasca pemberlakuan wajib militer bagi perang-perang yang dilakukan Amerika. Al hasil, segala upaya yang dilakukan diarahkan dalam kerangka mereduksi dan bahkan menghilangkan trauma yang terjadi. Bahkan dalam beberapa kejadian baru dalam dinamika nasional, peran mahasiswa sebagai intelektual muda adalah salah satu pull factor bagi beberapa perubahan tatanan bangsa. Demikian pentingnya peran generasi muda, sehingga bukan hanya nasib sebuah bangsa yang menjadi taruhan, bukan tidak mungkin nasib peradaban sangat ditentukan oleh kelas ini
Belakangan, entah dikarenakan cepatnya dinamika bangsa Indonesia yang tengah menata kembali fondasi dan tatanan serta arah perjuangan yang sempat tercabik-cabik oleh ganasnya dinamika di luar, ditambah wacana tentang globalisasi, berbagai gagasan tentang peran sentral generasi muda seakan-akan terabaikan. Bahkan oleh kalangan generasi muda itu sendiri. Perubahan dalam berbagai aspek bangsa ini menimbulkan kegamangan yang luar biasa bagi generasimuda dalam menentukan sikapnya. Dalam mengahadapi realitas inilah, sangat penting bagi generasimuda untuk tetap konsisten melakukan re interpretasi dengan kualitas dan kecepatan yang sangat tinggi.
Isu-isu globalisasi, sebagaimana dimunculkan di awal, dengan berbagai indikator-indikatornya memiliki andil besar bagi perubahan-perubahan yang terjadi. Perkembangan teknologi yang berakibat pada cepatnya arus informasi yang kian memudahkan lalu lintas ide dan gagasan bahkan dalam skala global sekalipun. Tanpa adanya pemahaman yang utuh terhadap berbagai perubahan tersebut, nilai-nilai yang telah tumbuh dalam sebuah masyarakat dan telah menjadi fondasi berdirinya sebuah bangsa sebesar Indonesia akan tereduksi dan terlupakan. Bukan tidak mungkin, dengan berbagai potensi sosialkultural yang dimiliki Indonesia akan menjadi potensi konflik dan menyerang balik integrasi bangsa se-heterogen Indonesia.
Yang menjadi focus permasalahan adalah peran sentral generasi muda (baca : mahasiswa) sebagai penggerak utama dalam kaitannya dengan fenomena organisasi daerah. Fenomena organisasi daerah yang banyak dijumpai terutama di kota-kota yang menjadi pusat tujuan pendidikan, mutlak tidak akan ada tanpa keberadaan mahasiswa sebagai aktor utamanya. Hubungan yang telah menjadi keniscayaan tersebut belakangan agaknya merenggang. Terkait dengan berbagai dampak globalisasi yang mengantarkan manusia pada pemahaman yang lebih dari sekedar modern. Faham yang dikenal dengan istilah posmodernisme ini telah merambah ke berbagai aspek kehidupan manusia. Bahkan tanpa kita sadari sudah sedemikian dekat, sekedar contoh adalah pola konsumsi yang kita lakukan seringkali bukan dalam rangka menjawab kebutuhan yang masing-masing memiliki level pemenuhan sendiri, tapi lebih pada konsumerisme yang “membabi buta”. Contoh tersebut sekedar menunjukan betapa perilaku kita telah berubah dan seringkali perubahan tersebut bukan perubahan yang progresif realistis. Kita telah dengan mentah-mentah menelan apa yang ada tanpa ada upaya untuk membaca kembali secara utuh fenomena yang terjadi dalam dinamika kehidupan kita. Output dari kian maraknya fenomena seperti ini adalah generasi-generasi “pop”. Bukan pop dalam pengertian sebenarnya yang memiliki kriteria-kriteria sendiri, tapi lebih kepada “asal pop”.
Realitas sosial seperti kecenderungan “asal pop” menyeret generasi muda kita untuk lebih menerima apa yang menjadi trend, yang lebih mayor. Sementara berbagai faham dan realitas yang minor terlupakan begitu saja dengan berbagai ungkapan apatisme di sepanjang jalannya. Eksistensi organisasi daerah dan pandangan yang berkembang tentang eksistensinya tersebut pada akhirnya terimbas. Perspektif lain yang agak lebih baik adalah tetap mengakui eksistensi organisasi daerah, namun eksistensi tersebut dianggap sebagai sebuah end product yang tidak memerlukan analisa kritis lagi untuk tetap relevan dengan tuntuan perkembangan peradaban secara umum.
Dalam tahapan awal proses belajarnya, kebanyakan orang akan berangkat dari pertimbangan yang sangat pragmatis (like and dislike). Di lain pihak, kejiwaan generasi muda yang lebih sensitive terhadap sesuatu yang “baru”, berhadapan dengan permasalahan globalisasi dan berbagai konsekuensi logis, baik yang telah terpetakan maupun yang belum, pada akhirnya berdampak pada perspektif berpikir yang apologis dan cenderung apatis, apalagi terkait dengan organisasi daerah. Generasi muda yang semestinya menjadi pionir bagi eksistensi organisasi daerah, terjebak dalam kompleksitas permasalahan sebagaimana terurai di atas. Ditambah image yang seringkali dikaitkan antara organisasi daerah dengan “penguasa” berujung pada sebuah kesimpulan prematur bahwa organisasi daerah adalah kepanjangan tangan penguasa, keterjebakan yang dialami oleh generasi muda dan organisasi daerah sebagai entitas independen kian rumit untuk diurai.
Berikutnya apakah organisasi daerah masih cukup relevan dan efektif sebagaimana gagasan awal yang menjadikan organisasi, baik yang bersifat kedaerahan maupun di luar itu sebagai sebuah media bagi generasi muda untuk tetap berproses di luar proses formal yang harus mereka jalani. Apakah organisasi daerah masih dapat memfasilitasi semangat-semangat kolektif yang telah terbukti mampu mengentaskan bangsa ini dari permasalahan penjajahan?
Adalah sebuah kesalahan ketika permasalahan telah dimunculkan, dan bukannya berupaya untuk menjawab atau paling tidak menentukan sikap yang “benar”, sehingga kegamangan tidak lagi menjadi dominasi generasi muda. Bukan tidak mungkin posmodernisme yang menghasilkan dampak berupa kecenderungan individualisme ditambah dinamika nasional seperti fenomena otonomi daerah dan kegamangan yang mewabah pada generasi muda bukan tidak mungkin isu-isu separatisme akan menjadi permasalahan krusial bagi bangsa ini. LAGI!!
Dari sekian gambaran permasalahan yang harus dihadapi generasi muda, berikutnya organisasi daerah yang terimbas pada skala yang lebih besar lagi, bangsa ini, solusi yang ditawarkan di sini adalah sesuatu yang sederhana. Kotradiktif dengan gambaran permasalahannya, solusi tersebut adalah gagasan re-thinking yang dipadukan dengan kecepatan respon dalam membaca dan menyikapi dinamika kehidupan subjek dan objek kajian, yaitu generasi muda dan organisasi daerah. Namun solusi tersebut masih terlalu kualitatif untuk langsung diimplementasikan pada kondisi yang sebenarnya.
Masalah apatisme yang mewabah di kalangan muda, belum serumit permasalahan lain semacam dehumanisasi, dan demoralisasi, meskipun masalah tersebut saling terkait. Apatisme ini tumbuh subur dikarenakan beberapa sebab utama, terutama tingkat kejenuhan generasi muda mengenai fenomena objek (organisasi daerah) yang terkesan monoton, dan “itu-itu aja”. Bagi kebanyakan generasi muda, kecenderungan untuk mendapatkan wacana-wacana baru, akan lebih banyak dijumpai “di luar” kerangka organisasi daerah. Secara ekstrem, organisasi daerah dianggap tidak mampu memfasilitasi need of achievement yang melekat dalam perkembangan mental generasi muda. Berbagai perkembangan teknologi sebagaimana sebelumnya, kian memudahkan siapa saja untuk memperoleh wacana-wacana baru tersebut.
Kurang lebih dengan permasalahan generasi muda sebagai subjek permasalahan, fenomena organisasi daerah sebagai objek, meskipun independen, akan berhadapan dengan kompleksnya permasalahan generasi mudanya. Masalah organ daerah sangat tergantung pada pelaksananya. Bahkan lebih parah, telah dianggap sebagai sebuah kewajaran ketika tanggungjawab mengenai organisasi daerah adalah “otoritas” beberapa gelintir pihak tertentu saja. Saling terkaitnya permasalahan tersebut, sebenarnya memudahkan upaya mencari akar permasalahan dan menemukan solusi yang tepat bagi permasalahan tersebut. Tanpa adanya interest tentang organisasi daerah, persoalan tanggungjawab pelaksanaan organisasi daerah mustahil terselesaikan, dan tanpa adanya variasi gagasan yang hanya muncul jika interest untuk berkontribusi dalam organisasi daerah cukup tinggi, mustahil organisasi daerah dapat beranjaka dari permasalahan kurang marketable –nya gagasan dan program yang akan dikerjakan.
Selanjutnya, langkah yang diambil haruslah lebih strategis, bahkan sampai level teknis kegiatan sekalipun. Secara garis besar, profesionalisme pelaksanaan organisasi daerah ternyata belum cukup terbukti. Dalam pemahaman dan skala yang lebih luas, strategis berarti bahwa setiap langkah yang diambil tetap pada batsan-batasan untuk mewujudkan tujuan bersama. Tanpa adanya koreksi dalam penentuan tiap langkah yang akan ditempuh oleh sebuah organisasi dapat membawa organisasi daerah ke arah yang salah dan besar kemungkinan justru menjadi pemicu konflik disintegrasi yang rawan dan dekat dengan fenomena organisasi daerah. Beberapa pengalaman mencatat bahwa organisasi daerah telah bergeser dari koridor organisasi sosialkultural, tapi telah menjadi “alat” bagi kepentingan beberapa orang saja. Dengan argumen tanpa upaya tersebut, kepentingan organisasi daerah sendiri tidak terfasilitasi, berbagai kejadian tersebut terlegitimasi menjadi sebuah kewajaran.
Terlepas dari kompleksitas permasalahan organ daerah tersebut, agaknya masih relevan untuk berkaca pada kejadian 76 thn yang lalu. Tanpa bantuan dari pihak manapun, hanya bermodalkan kesadaran kritis dan tanggungjawab moral, para pemuda dapat menyusun sebuah akar bagi terwujudnya kemerdekaan.
Pertanyaan yang harus dijawab sekarang adalah dimana posisi kita sendiri di tengah kegamangan generasi muda pada umumnya dan kegamangan organisasi daerah dalam upayanya menemukan posisi yang tepat, bukan hanya sebagai wadah bagi apologi-apologi yang picik? Berasumsi dari kecenderungan yang cukup besar pada generasi muda sekarang untuk bersikap apologis dengan berbagai pembenar retoris terkait dengan perubahan dan permasalahan yang muncul? Apakah kita masih menjadi penonton dan merelakan roda waktu menentukan arah perjalanan yang akan kita lalui?atau mungkin kita tidak lagi menonton, tapi apakah langkah kita cukup strategis dengan berbagai permasalahan di atas? Bukan jawaban bung! Hanya kerja yang bisa menjawabnya !!.

KONGGRES IPMALAY 2004

0 komentar

KONGGRES IPMALAY 2004
KALIURANG, 10 & 11 April 2004

Materi termuat Buletin IPMALAY 05

Beberapa waktu yang lalu tepatnya pada tanggal 10 & 11 April 2004, IPMALAY menyelenggarakan salah satu agenda penting. Even yang bertujuan untuk menentukan di tangan siapakah tongkat estafet kepengurusan IPMALAY akan diserahkan. Dari segi kuantitas, anggota IPMALAY terbilang banyak (200-an anggota). Namun dikarenakan berbagai sebab, terutama kesibukan utama dalam aktivitas perkuliahan, dll, tidak semua dapat terlibat dalam setiap even yang diselenggarakan IPMALAY. Tanpa kecuali pada konggres tersebut.
Konggres ini dihadiri oleh120 peserta. Rumusan awal konggres ini telah ada dari beberapa pertemuan yang dilaksanakan para pengurus periode 2002-2004 dengan beberapa kandidat yang muncul. Samsul Rizal (Endo) sebagai ketua IPMALAY dan para pengurus dalam beberapa koordinasi intensif menjelang dilaksanakannya konggres menyusun sebuah kepanitiaan berkaitan dengan konggres dan berbagai hal lainnya seputar pertanggungjawaban kepengurusannya pada periode tersebut. Konggres akhirnya dilaksanakan, dipimpin oleh sdr Hellyanto sebagai ketua panitia konggres. Diterbitkannya sebuah booklet sebagai panduan bagi pelaksanaan baik secara konseptual maupun teknis konggres ini, menjadikan forum ini pada prosesnya dapat terfokus dan tertata rapi.
Konggres ini memunculkan lima kandidat ketua yaitu : sdr. Mulyadi Saragih, sdr Indra, sdr Rudi S. Siregar, sdr Heri Siswanto dan Sdr Agung Sugiri. Dinginnya Kaliurang ternyata tidak mampu meredam hangatnya suasana konggres yang pada akhirnya menetapkan sdr. Agung Sugiri (IP UGM, ’00) sebagai ketua IPMALAY, periode 2004-2006. Dalam konggres ini juga, rumusan tentang kepengurusan yang akan mendampingi ketua IPMALAY dikupas habis. Kepengurusan IPMALAY ditetapkan, dengan rincian :
Ketua : Agung Sugiri
Wa.ketua : Rudi S. Siregar
Sekretaris : Kasrini
Bendahara : Sarini
Ka.Pendidikan : Mulyadi Saragih
Ka.Litbang & Strat : Rukman
Ka.RT : Heri Siswanto
Hamdy Erazona Siregar

Dan para pengurus yang lama ditetapkan sebagai SC (Steering Committee). Sehingga diharapkan kinerja kepengurusan yang lebih terkoordinir dan adanya referensi dari SC dapat berperan sebagai kontrol bagi para pelaksana kebijakan (red.pengurus).
Hanya puji dan syukur yang pada akhirnya terlahir dari hati masing-masing peserta, mengingat setapak langkah penting bagi kesinambungan IPMALAY telah dilalui. Berbagai spekulasi tentang kecenderungan yang biasanya muncul pada tiap prosesi pergantian kepengurusan seperti munculnya sentimen yang menjurus pada situasi yang tidak sehat ternyata terbantahkan. Segala aktivitas berlangsung lancar, dalam suasana keakraban.
Selamat deh BRur!!
PENGAJIAN, DISKUSI-DISKUSI, DAN RAPAT-RAPAT KOORDINASI
Sebagai sebuah agenda program rutin yang dari jaman “dulu” telah ada, pengajian dan diskusi ternyata tetap dibutuhkan bagi keterjaminan fondasi mental IPMALAY. Pengajian dan diskusi meskipun oleh kebanyakan orang terasa retoris, untuk tidak mengungkapkannya dalam bentuk “membosankan” atau “basi”, ternyata tetap memainkan peranannya sebagai salah satu program yang paling strategis, terkait dengan tujuan utama IPMALAY, sebagai forum silaturahmi.
Pengajian dan diskusi yang diadakan di sekretariat IPMALAY ini kebanyakan bertemakan upaya membangun kesadaran kritis (lagi?!). Ya, kembali pada premis bahwa tidak ada proses yang final, berbagai topik bahasan dikupas dalam diskusi-diskusi baik yang bersifat formal,sampai yang bersifat informal. Sebuah perbedaan yang jelas dari tawaran berupa pengajian, diskusi (formal), maupun yang informal. Secara umum IPMALAY berusaha agar segala upaya yang ada dapat dikemas dengan lebih “menarik”, salah satunya dengan menghadirkan ustad atau pembicara yang lebih familier dengan segmen audiensnya yang kebanyakan masih ABG atau “merasa ABG”. Penyampaian bahasan maupun program-program IPMALAY selalu melalui proses filtrasi dalam forum rapat-rapat koordinasi yang bersifat accidental, bukan dengan maksud menggurui maupun “menokohi” para anggota. Hal ini dilakukan lebih pada tujuan “mengemas” dengan lebih baik. Bahkan sampai pada level personal, gaya bahasa yang akan digunakan selalu melewati proses yang panjang.
Aktivitas “rutin” yang lain selain pengajian dan diskusi-diskusi adalah rapat-rapat koordinasi. Adalah sulit untuk melakukan kegiatan tanpa melibatkan beberapa pertimbangan yang dalam perkembangannya akan berdampak bagi hasil kegiatan tersebut. Dalam beberapa aktivitas yang terkoordinir sekalipun, IPMALAY masih menjumpai kekurangan-kekurangan teknis hanya karena lemahnya koordinasi antara pihak-pihak yang terlibat sebagai pelaksana, apalagi anggota-anggota yang lebih bersifat partisipatif. Mengingat pentingnya koordinasi tersebut, frekuensi diadakannya rapat ini termasuk tinggi, dibandingkan aktivitas yang lain. Bahkan dalam beberapa kesempatan rapat koordinasi yang lebih “santai”, seringkali kebablasan. Pernah suatu malam (kebanyakan rapat diselenggarakan malam hari sampai pagi), sekretariat yang masih berstatus rumah kontrakan, didatangi pemilik kontrakan setelah beliau mendapatkan teguran dari tetangga dan pemuda, karena terlalu “ribut”. Tapi masalah-masalah tersebut tidak pernah menjadi masalah yang berkepanjangan.
NAPAK TILAS KEMERDEKAAN 17 AGUSTUS 2004
Ada beberapa hal yang setelah kita menjadi seorang mahasiswa terlupakan dan bahkan tidak jarang terbuang begitu saja menjadi masa lalu kita. Beberapa peristiwa bersejarah yang biasanya diperingati secara formal ketika kita masih di jenjang pendidikan dasar dan menengah, sebenarnya adalah momentum masing-masing kita untuk mengapresiasikannya sesuai dengan dinamika perubahan yang ada sekarang. Namun, justru yang terjadi adalah kebalikannya. Kebanyakan justru menyikapinya lebih sebagai formalitas belaka dan “membosankan” karena aspek ritualnya yang berbelit-belit.
Pada peringatan proklamasi kemerdekaan 17-Agustus beberapa waktu kemarin, para pengurus IPMALAY mencoba menerobos anggapan lama tersebut. Kegiatan yang dimulai pada pagi hari, dengan berjalan kaki, berawal dari sekretariat IPMALAY menuju ke kawasan-kawasan yang memiliki nilai sejarah, seperti Kantor Pos Besar, istana presiden, tugu Jogja, monumen serangan umum 1 Maret dan berakhir di monumen peringatan “Jogja Kembali”, mengembalikan nuansa-nuansa yang sempat hilang. Semangat nasionalisme dan patriotisme berbangsa seakan tergugah kembali terlebih dengan suasana kota Jogjakarta yang memang selalu meriah dalam memperingati hari besar nasional. Aktivitas yang memang tidak terikat dengan beragam atribut maupun prosedur formal, menjadikan kegiatan ini lebih santai. Dan semestinya tanpa harus adanya keterikatan formal, kesadaran akan tanggungjawab sebagai bangsa Indonesia dapat tumbuh subur tanpa adanya kesan “keterpaksaan”.
IPMALAY GOES TO BANDUNG DAN BOGOR ??
Berangkat dari gagasan untuk mempererat silaturahmi dengan warga Labuhanbatu yang berdomisili di kota selain Jogja, 19 September 2004 IPMALAY mengadakan kunjungan ke Bandung dan Bogor. Kebanyakan pelajar dan mahasiswa memang memilih 2 kota ini selain Jogja dan Jakarta, dalam rangka melanjutkan studinya di Jawa. Sebelumnya, beberapa alumni IPMALAY berkunjung ke sekretariat IPMALAY. Pada kesempatan tersebut dialog dan “sharing” tentang berbagai realitas dan permasalahan yang dijumpai pada masing-masing periode menghasilkan sebuah kesimpulan yang masih terlalu kualitatif, sehingga masih terdengar retoris. Adalah sebuah jargon lama, tak kenal maka tak sayang. Kesimpulan tersebut yang ingin diralisasikan dalam sebuah langkah konkrit oleh peserta kunjungan yang berjumlah 16 orang (termasuk pengurus), tergabung dalam 2 mobil yang diupayakan secara swadaya. Rombongan berangkat pada hari Sabtu sore dan kembali setelah 2 hari menikmati sejuknya Bandung dan Bogor.
Antusias adalah kesan yang muncul setelah menjumpai kawan dan saudara di Bandung dan Bogor. Meskipun secara organisasional, kondisi di Bandung dan Bogor bisa dikatakan tidak lebih baik dari IPMALAY, semangat-semangat untuk tetap mempertahankan kebersamaan dan berjuang bersama bagi Labuhanbatu masih dapat menghangatkan perasaan rombongan. Setidaknya, terlepas dari kemungkinan untuk bekerjasama terutama pada momen Lebaran yang dijadwalkan akan padat, mengingat banyaknya agenda yang akan diselesaikan di Rantauprapat, semangat kawan-kawan Bogor dengan lebih terbatasnya SDM dan keterbatasan lainnya patut dijadikan referensi bagi para pengurus IPMALAY dengan kondisi dan berbagai program di Jogja.
Selain mengunjungi beberapa lokasi yang menjadi primadona di kedua kota ini (ITB, Dago, Cihampelas, Puncak), momen tersebut benar-benar tidak disia-siakan oleh para pengurus yang tidak hanya sekedar berbagi, tapi lebih jauh dengan memunculkan alternatif solusi bagi permasalahan organisasional (Bandung) dengan menggagas kemungkinan regenerasi, dan membuka peluang yang dimiliki Bogor yang relatif lebih solid. Bukan tanpa alasan, kesolidan yang dimiliki Bogor adalah sebuah keuntungan dari terkumpulnya kebanyakan mahasiswa Labuhanbatu dalam satu kampus (IPB). Dan kondisi yang berkembang di Bandung lebih dikarenakan banyak dan tersebarnya kampus-kampus di kota kembang ini.
Dan diharapkan dengan langkah awal lewat kunjungan ini, konektivitas dapat terbangun dan tidak muluk untuk menggambarkan sebuah potensi yang luar biasa ketika putra-putra terbaik Labuhanbatu bersama-sama berjuang sekembalinya mereka ke Labuhanbatu, atau dalam waktu dekat dengan agenda yang dipunyai masing-masing pada kesempatan Lebaran.
IPMALAY Accoustic Night, Ngeband Resto, 9 Oktober 2004.
Tidak lama berselang dari kegiatan-kegiatan rutin dan kunjungan ke Bandung dan Bogor, IPMALAY kembali mengadakan sebuah acara dalam rangka membangun jaringan ke luar batas internal IPMALAY. Motivasi yang tetap diperjuangkan dari kegiatan ini masih dalam upaya membangun brand IPMALAY, baik untuk tujuan ke dalam IPMALAY sendiri maupun ke luar IPMALAY. Acara yang diadakan di Ngeban Resto yang kental dengan nuansa tradisional, digabung dengan penampilan sebuah band akustik, adalah sebuah upaya baru untuk mengemas frame organisasi daerah seperti IPMALAY menjadi lebih familier dengan kejiwaan anggota yang menjadi bagian di dalamnya. Namun gambaran bahwa dengan acara yang lebih “soft” tersebut, suasana yang lebih “renyah” dapat terwujud, sepertinya tidak beralasan. Di awal acara, masih terlihat kecanggungan dari para hadirin, terlebih anggota IPMALAY sendiri untuk “membaur” dengan para tamu. Seakan-akan tanggungjawab sebagai tuan rumah adalah veto dari pengurus. Secara keseluruhan, suasana lebih “cair” mulai muncul menginjak beberapa acara berikutnya sesudah beberapa formalitas dari pengurus.
Terlepas dari gagasan untuk menyelenggarakan acara yang lebih familier, pada kesempatan ini, IPMALAY mengundang beberapa organisasi dari daerah lain baik yang sama-sama dalam level organisasi daerah tingkat kabupaten maupun beberapa perwakilan dari level propinsi, seperti Makasar, dan Sumut. Pada awalnya, akan diundang setidaknya perwakilan dari 10 organisasi daerah, tapi terbatasnya waktu dari persiapan sampai waktu pelaksanaan acara sendiri di samping pertimbangan efektifitas dalam menjajaki potensi kerjasama, akhirnya 2 organisasi tersebut yang diundang. Dan bukan tanpa sebuah kesepakatan baru ketika akhirnya dari pertemuan ini, muncul agenda-agenda program kerjasama semacam seminar bersama KPMT (Makasar) dan agenda Mudik Bareng (Bukit Barisan, Sumut), termasuk agenda buka puasa bersama mahasiswa Sumatera Utara se Jogja.
Terkait dengan motivasi ke dalam IPMALAY yang selama ini masih berkutat dengan persoalan kurangnya respon dari anggota yang berakibat tidak tersampaikannya gagasan-gagasan dan ide-ide baru, terdengar sangat ironis jika dengan permasalahan tersebut, IPMALAY terkungkung dalam tempurung masalah internal. Sebagaimana harapan-harapan sebelumnya, bahwa dengan langkah-langkah yang lebih bersifat “keluar” tersebut, antusiasme anggota yang merasa tidak cukup hanya berhadapan dengan tawaran yang “itu-itu aja”, dapat didongkrak, demikian juga dengan penyelenggaraan IPMALAY Accoustic Nights. Optimalisasi kinerja pengurus dan berbagai sumbangan dari SC (Standing Committee) yang pada malam itu “habis-habisan”, dapat direspon dan ditanggapi tidak sekedar bentuk penghargaan terhadap para pengurus, tapi lebih penting dari itu bahwa ini semua bukanlah dalam rangka menjawab kebutuhan pengurus, tapi lebih pada sebuah kesadaran kritis tentang berbagai realitas dan tanggungjawab kita pada IPMALAY, pada masyarakat Labuhanbatu, dan akhirnya masyarakat Indonesia.
BUKA BERSAMA DAN MUDIK BARENG IPMALAY 2004
Padatnya rangkaian kegiatan diatas tampaknya masih belum cukup bagi sebuah paradigma baru yang ingin diwujudkan dari periode kepengurusan sekarang ini. Sebagai wujud tindak lanjut dari pertemuan-pertemuan dengan berbagai organisasi daerah pada even IPMALAY Accoustic Nights yang lalu, pengurus mendapatkan berbagai tawaran dari ikatan mahasiswa se-Sumut yang tergabung di Asrama Bukit Barisan. Salah satu kerjasama yang akan dikerjakan bersama adalah buka bersama, untuk membuka forum silaturahmi tidak hanya dalam lingkup kabupaten, dan kegiatan Mudik Bareng yang akan diadakan pada 6 Nopember 2004. Dalam suasana awal bulan ramadhan, beberapa koordinasi dilakukan oleh pengurus IPMALAY terkait dengan acara tersebut. Acara buka bersama akan diselenggarakan di Jl,Kaliurang,di kediaman salah satu Alumni mahasiswa Bukit Barisan. Solidnya barisan dalam tubuh IPMALAY sendiri adalah sebuah kontribusi yang luar biasa dalam kaitannya dengan berbagai aktivitas yang melibatkan pihak di luar IPMALAY, sampai akhirnya kerjasama tersebut dapat terlaksana dengan baik dan berkesinambungan.
Menjelang akhir bulan Oktober, nuansa yang terasa dari mahasiswa-mahasiswa yang menjalani studinya di “rantau”, adalah kesibukan menjelang kepulangan mereka ke kampung halaman. Tidak terkecuali IPMALAY. Semangat-semangat untuk kembali berkumpul bersama anggota keluarga yang mereka tinggalkan mengalahkan berbagai keterbatasan energi yang ada sepanjang puasa ramadhan ini
Kegiatan Mudik Bareng 2004 ini terbilang baru bagi IPMALAY. Dengan kontribusi sebesar Rp. 340.000,00, anggota IPMALAY dapat pulang dan mendapatkan berbagai fasilitas. Bus Pariwisata, jatah buka puasa dan sahur 1x, dan kaos Mudik Bareng 2004, adalah beberapa kelebihan dengan harga yang tidak terpaut jauh dibandingkan harga tiket pulang jika mudik sendiri. Dan bukan hanya itu, kebersamaan dalam kegiatan tersebut adalah media bagi silaturahmi antar anggota terutama dalam lingkup internal, sekaligus sebagai bentuk koordinasi berkaitan dengan kegiatan-kegiatan yang akan dikerjakan di Labuhanbatu. Dan mungkin dengan diawali pada periode ini, kegiatan yang relatif baru bagi IPMALAY,seperti Mudik Bareng dan buka puasa bersama organisasi daerah dalam skala yang lebih luas tersebut dapat diarahkan menjadi sebuah kegiatan yang benar-benar bernilai tambah bagi keseluruhan proses bagi IPMALAY sendiri.
IPMALAY & Konggres Pemuda Indonesia 2004
Tindak lanjut dari kinerja yang dikonkritkan dengan berbagai kegiatan sebelumnya, membawa beberapa pengurus IPMALAY pada sebuah level yang lebih kompleks, nasional!. Munculnya gagasan dari Pemkot Jogja menjelang beberapa hari besar nasional terkait dengan dinamika politik dan berbagai realitas sosial yang ada dengan telah terlaksananya pergantian tampuk pemerintahan nasional, wacana dan beragam implementasi konsep otonomi daerah, terutama berkaitan dengan brand yang ingin dibangun oleh DIY, menjadi sebuah celah bagi eksistensi organisasi daerah di Jogja. Setelah beberapa waktu, eksistensi organisasi daerah yang sebatas simbol dan jargon, niatan Pemkot Jogja lewat Konggres Pemuda 2004 adalah media aktualisasi yang strategis bagi kontribusi yang diharapkan muncul dari organisasi daerah bagi kesinambungan pembangunan daerah asal maupun daerah yang menjadi domisilinya saat ini.
Keterlibatan beberapa pengurus IPMALAY dalam even berskala nasional ini tidak terlepas dari beberapa alasan, selain kompetensi dan kapasitas mereka sebagai wakil dari organisasi daerah pada tingkat kabupaten, bahkan mungkin harus overlapping dengan tingkat propinsi setelah kesepakatan yang terbangun antara pengurus IPMALAY dengan jajaran pengurus Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Daerah pada level propinsi Sumut, yang membawa para pengurus juga sebagai wakil dari Sumut dalam konggres tersebut. Dan dengan awalan keterlibatan beberapa bagian IPMALAY dalam sebuah kegiatan berskala nasional, image IPMALAY yang terbangun dapat terjaga sampai pada masa-masa berikutnya, bukan hanya semangat sesaat yang kembali hilang ditelan peradaban.

IPMALAY DREAMERS AGENDA !!

0 komentar

IPMALAY DREAMERS AGENDA !!


LEBARAN DI KAMPUNG HALAMAN ???
Setelah beberapa bagian yang mengupas program-program yang telah maupun sebagian terlaksana, berikut adalah gambaran agenda yang menjadi rencana IPMALAY pada beberapa moment dalam upaya mengoptimalkan kesempatan yang tidak lama dalam tiap-tiap kepengurusan (2 tahun).
Berkaitan dengan momen tahunan tersebut, dalam moment Lebaran pada beberapa tahun terakhir, IPMALAY selalu memiliki sebuah rencana kerja dalam rentang waktu seputar hari raya (1 minggu sebelum dan sesudah). Beberapa tema utama kegiatan yaitu sosialisasi eksistensi IPMALAY dan sosialisasi Jogja di Labuhanbatu, dan beberapa program dalam upaya berkontribusi bagi Labuhanbatu. Berbagai tema agenda tersebut akan dikemas dalam bentuk kegiatan semacam lomba gerak jalan santai yang digabung dengan pelaksanaan sosialisasi pendidikan. Rangkaian kegiatan yang rencananya akan diawali dengan silaturahmi dan audiensi dengan alumni-alumni IPMALAY sebagai bentuk persiapan dari kegiatan utama dan beberapa agenda rutin berupa Halal bi halal dengan orang tua-orang tua anggota termasuk alumni IPMALAY, ini akan dispesifikkan dalam kerangka pendidikan. Sebuah proses yang menjadi dasar eksistensi IPMALAY. Dalam beberapa rangkaian kegiatan menjelang Lebaran seperti Buka bersama dan Mudik bareng di samping rapat-rapat koordinasi yang diadakan dalam jadwal yang demikian padat, hal-hal yang bersifat teknis seperti tempat pelaksanaan, kesekretariatan IPMALAY di Rantauprapat bahkan sampai waktu meskipun belum sampai rincian mengingat beragam perubahan kondisional yang pasti muncul di tengah acara-acara keluarga yang memang tetap menjadi prioritas dalam Lebaran tiap tahunnya, mulai digulirkan.
Setidaknya berasumsi dari jumlah peserta Mudik Bareng yaitu kurang lebih 50-an anggota, pelaksanaan kegiatan dalam Lebaran di tiap tahun ini dapat lebih terakomodasi. Meskipun pada pelaksanaanya, bukan dengan maksud mengesampingkan acara keluarga masing-masing, hanya beberapa orang yang benar-benar in charge sepanjang persiapan dan pelaksanaan program-program yang waktunya berbarengan dengan berbagai acara “keluarga”.

SEMINAR: REPOSISI PERAN PUTRA DAERAH DALAM ERA OTONOMI DAERAH, kerjasama dengan KPMT
Era otonomi daerah adalah wacana yang telah lama terdengar di telinga kita. Beberapa perubahan yang masih dalam batasan isu maupun beberapa yang telah diwujudkan dalam beberapa kebijakan pemerintah terutama dalam tingkat lokal (Pemerintah Daerah), semacam perubahan pola hubungan kelembagaan maupun perubahan administrasi dan kebijakan lainnya, adalah wilayah yang selama ini menjadi monopoli pihak-pihak tertentu. Tanpa berprasangka bahwa kurang memasyarakatnya pemahaman tentang gagasan otonomi daerah ini, lebih diarahkan pada tercapainya tujuan akhir gagasan ini, wajib bagi kita sebagai anggota masyarakat untuk mengetahuinya. Paling tidak, meskipun tidak bersinggungan langsung dengan isu-isu tersebut, dengan pemahaman tersebut kita dapat membaginya kepada masyarakat, terkait dengan tanggungjawab sosial sebagai bagian masyarakat, yang terhitung “elit”. Bagi kita sendiri, dengan pemetaan medan yang benar, akan sangat menentukan kualitas langkah-langkah yang kita ambil meskipun dalam lingkup pribadi kita sendiri.
Menyikapi berbagai perubahan tersebut, IPMALAY pernah berniat mengadakan seminar dengan tema “Reposisi peran putra daerah di era Otonomi Daerah” dengan bekerjasama dengan KPMT (Keluarga Pelajar Mahasiswa Makasar). Bukanlah sebuah kebetulan ketika konsep kerjasama ini dimunculkan. Terlebih ketika ternyata respon positif muncul justru dari sesama organisasi daerah. Di samping mengembangkan wawasan dan silaturahmi lebih luas dari batasan “daerah” yang sering disalah artikan sehingga yang terjadi adalah semangat-semangat yang salah kaprah seperti chauvinisme dan primordialisme yang berlebihan. Menempatkan semangat-semangat tersebut dengan lebih proporsional akan menjadi sebuah tolakan yang penting bagi kesinambungan pembangunan pada tingkat nasional pada waktu yang akan datang. Dan pada saat era itu datang, kita tidak lagi sekedar seorang penonton yang gagap ketika harus terjun sebagai pucuk barisan dimedan perang pembangunan yang ternyata bukan lagi sebatas teori, karena pada saat inipun kita telah berhadapan dengannya.
Beragam permasalahan yang timbul dengan munculnya gagasan otonomi daerah terutama di tingkat lokal, menandakan masih lemahnya gagasan ini ketika diimplementasikan. Berbagai realitas sosial dan fenomena kultural setempat yang (mungkin) terabaikan, menuntut peran aktif semua pihak bagi keberhasilan gagasan ini. Upaya yang paling strategis bagi kita (mahasiswa) saat ini adalah melakukan “pembacaan” yang benar tentang gagasan tersebut dan mengeruk kembali berbagai fenomena yang membangun konstruksi masyarakat lokal, untuk kemudian membangun sebuah harmoni yang sinergis dalam kerangka pemahaman (dulu). Untuk melangkah lebih jauh dengan terlibat dalam permasalahan tersebut, terlampau prematur bagi seorang mahasiswa yang masih belajar membaca. Jika dengan kemampuan membaca inipun,kita lebih memilih untuk tidak ambil pusing, betapa ironisnya perjuangan pendidikan yang telah kita lalui sejauh ini.
Seminar ini menurut rencana tidak hanya melibatkan dua organisasi daerah sebagai “tuan rumah”, tapi akan diperluas dengan melibatkan beberapa perwakilan dari berbagai elemen yang memiliki komitmen tentang isu Otonomi daerah, termasuk para pembuat kebijakan yang telah lebih dulu berhadapan dengan pelakasanaan gagasan ini di lapangan.

IPMALAY Goes To BALI !!
Mudah bagi beberapa kalangan untuk “berpetualang” atau mungkin sekedar jalan-jalan ke kota-kota atau daerah lain. Namun akan sangat sulit ketika “kesempatan” tersebut dijalani dengan “kebersamaan“. Dengan beberapa kemudahan yang diperoleh IPMALAY, IPMALAY pernah berencana mengadakan “jalan-jalan” ke Bali. Kegiatan ini rencananya akan dilaksanakan selepas rentang waktu pelaksanaan ujian akhir (sekitar pertengahan Februari). Dengan kontribusi yang terbilang murah, Rp. 400.000,00 selama lima hari dengan berbagai fasilitas : Bus pariwisata, Hotel dan berbagai akomodasi, bahkan konsumsi, jika memenuhi kuota yang ditargetkan, akan menjadi sebuah pengalaman yang berharga bagi para peserta. Bukan hanya menariknya pulau Bali yang sudah menjadi rahasia umum, namun lebih pada “kebersamaan” yang akan menjadi pengalaman tak terlupakan. Berbagai potensi dari diadakannya kegiatan ini selain “jalan-jalannya” bukan tidak mungkin menjadi pengalaman “baru” bahkan bagi beberapa peserta yang pernah ke Bali sebelumnya. Tertarik? Segera kunjungi sekretariat IPMALAY, atau hubungi pengurus, bisa via SMS, untuk informasi lebih lanjut.

Pengantar Buletin IPMALAY’05

0 komentar

Pengantar Buletin IPMALAY’05
Assalammu’alaikum wr.wb
Salam sejahtera
Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan rahmat dan hidahnya kepada kita semua. Dalam kesempatan ini izinkanlah saya mewakili kawan-kawan IPMALAY kembali mengajak kawan-kawan dalam hubungan silatuhrahmi dan kekeluargaan. Saya atas nama kawan-kawan IPMALAY mengucapkan terima kasih pada kawan-kawan yang telah mau meluangkan sedikit waktu ditengah-tengah kesibukan berbagai aktivitas yang mau ikut hadir dan berperan aktif dalam menyukseskan kongres IPMALAY yang kita selenggarakan. Adapun kongres IPMALAY diadakan yaitu sebagai mediator dalam memperbaiki berbagai sistem diitubuh IPMALAY dan persoalan-persoalan yang ada.sekaligus menciptakan moment menting bagi perkembangan IPMALAY di masa yang akan datang. Untuk itu kami mengharapkan masukan, kritik dan ide-die dari kawan-kawan yang tentunya akan bermanfaat bagi perkembangan IPMALAY itu sendiri.
“keberhasilan suatu pertempuran sangat ditentukan oleh penguasaan kita terhadap medan pertempuran itu sendiri, seberapa besar kemampuan kita dan seberapa hebat musuh yang harus kita hadapi, serta medan pertempuran yang akan kita jalani, apa, kapan, dan dimana.”
Filosofis di atas inilah yang kemudian mengilhami kami untuk menerbitkan warta IPMALAY, sebagai sedikit panduan ataupun gambaran kecil terhadap medan pertempuran yang mengkin akan kalian hadapi kedepan.
Dalam dua tahun usia IPMALAY telah memberikan cukup waktu bagi kami untuk sedikit mengevaluasi eksistensi kita disini. Kita sama-sama mengetahui fakta yang cukup memprihatinkan bahwa secara kuantitatif eksistensi alumni kita sangat minim, terutama pada PTN-PTN di Jawa. Kesimpulan ini kami ambil dari beberapa diskusi yang dilakukan baik secara internal, maupun bersama teman-teman lain dari beberapa daerah di jawa seperti Bandung dan Bogor. Hipotesis pertama yang kami ambil adalah bahwa minimnya minat alumni untuk berusaha menembus PTN di Jawa, penyeban utamanya adalah kurangnya informasi yang cukup untuk kemudian mengambil keputusan untuk berusaha sekeras mungkin menembus PTN-PTN di Jawa. Hipotesis inilah yang kemudian kami coba untuk dicarikan solusinya. Solusi akhir yang kami temukan adalah sebuah usaha yang maksimal dalam rangka sosialisasi kondisi atau gambaran secara umum bagaimana kuliah di Jawa. Sosialisasi ini kemudian direalisasikan, salah satunya melalui sebuah media yang kemudian kami beri label warta IPMALAY. Format ini kami harapkan cukup efektif umtuk mencapai tujuan sosialisasi yang kami maksud.
Paling tidak, melalui media ini kami berharapan besar dapat memberikan gambaran secara umum tentang dunia perkuliahan di Jogya, UGM pada khususnya, bagaimana kehidupan di Yogya mulai dari biaya hidup sampai pada fasilitas-fasilitas yang bisa kita dapatkan disini. Disamping itu, kami juga memberikan gambaran tentang mahasiswa peran dan fungsinya dalam masyarakat, rutinitas dan keseharian, serta kesulitan-kesulitan yang mungkin kita hadapi.
Diharapkan pula dengan usaha ini kiranya dapat mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan kesalahan kalian dalam memilih dimana, universitas apa dan dijurusan apa kalian akan melanjutkan studi nantinya. Karena menentukan pilihan ini adalah satu hal yang sannngat sulit, membutuhkan banyak pertimbangan, mulai dari pertimbangan ekonomi, mental,kemampuan akademis, keluarga, minat dan bakat kalian. Pengalaman membuktikan, banyak dari para almuni kita mengalami kegagalan dalam studinya, kemudian ada yang tidak betah dan harus pindah daerah, universitas ataupun jurusan, ada juga yang kemudian kuliah tapi tidak kuliah semua ini tentunya diakibatkan oleh perhitungan yang kurang matang dan ketergesah-gesahan. Jadi, melalui media ini kami berusaha untuk memberikan sedikit pedoman dan bimbingan kepada anda-anda untuk menentukan pilihan. Oleh karena itu kami menghimbau kepada adik-adik agar jangan segan-segan untuk menanyakan apa yang kalian tidak tahu, dan kami akan berusaha memberikan apa yang kami tahu. Untuk itu kami telah membuka segala jalur komunikasi yang mungkin bisa kami lakukan baik secara personal (langsung kepada orang-orang tertentu) atau melalui organisasi (IPMALAY).
Kami sangat menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan disana-sini. Tapi inilah usaha maksimal kami dalam segala keterbatasan dan kekurangan yang ada pada kami. Dan untuk itu ada kesepakatan di antara kami untuk tetap berusaha meningkatkannya dimasa yang akan datang. Kami juga menerima segala bentuk kkritik dan saran yang sifatnya membangun demi kebaikan kita bersama.
Akhirnya, puji syukur yang sebesar-besarnya kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karuniaNya, kemudian terima kasih dan penghormatan yang setinggi-tingginya kepada orang tua kami, guru-guru kami dan masyarakat Labuhan Batu pada umumnya atas semua yang telah diberikan kepada kami, serta penghargaan kepada seluruh saudara dan rekan-rekan kami atas dukungan motil dan materil terhadap apa yang telah kami lakukan, sehingga kami dapat menyelesaikan terbitan perdana ini.

Sambutan Bupati Labuhanbatu

0 komentar

Draft Sambutan Bupati Labuhanbatu
Berkaitan dengan terbitnya Buletin IPMALAY

Assalamualaikum Wr.Wb
Puji syukur senantiasa kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, semoga kita senantiasa diberikan semangat untuk terus berjuang bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat Labuhanbatu.
Bersamaan dengan terbitnya edisi kedua buletin IPMALAY ini, kami selaku pelaksana kegiatan pemerintahan di Kabupaten Labuhanbatu merasa sangat bangga, bahwa putra-putri terbaik Labuhanbatu yang masih menjalani masa studi di Yogyakarta telah merintis sebuah upaya untuk ikut berperan serta bagi perkembangan masyarakat Labuhanbatu, khususnya dalam dunia pendidikan.
Hadirnya buletin ini juga patut disyukuri bersama sebagai bukti nyata kepedulian putra-putri daerah Labuhanbatu dalam membangun kampung halamannya tercinta Labuhan Batu, karena nasib banga ini bertumpu di tangan para generasi muda tersebut, semoga bisa menjadi pemicu bagi bangkitnya dunia pendidikan di Labuhanbatu secara umum.
Buletin yang memuat beragam wacana seputar pendidikan baik di Yogyakarta maupun di daerah lain, disamping wacana yang lain yang dalam beragam muatannya akan dapat memberikan gambaran bagi putra-putri daerah Labuhan batu baik yang berdomisili di Labuhan batu maupun yang berada di luar daerah untuk dapat memberikan kajian yang tepat dan mengambil peran-peran strategis bagi masa depan masyarakat Labuhanbatu kelak dimanapun mereka berada.
Pemberdayaan beragam potensi di kabupaten Labuhanbatu di era otonomi daerah ini akan sangat membutuhkan peran dan kerjasama yang saling mendukung antar seluruh stake holders dan berbagai elemen masyarakat, baik pembuat dan pelaksana kebijakan, pelajar, mahasiswa, pemuda, dan seluruh elemen masyarakat yang lain sehingga akan tercipta masyarakat yang Labuhanbatu yang harmonis, damai dan maju serta berkeadilan sosial sebagaimana telah menjadi cita-cita kita bersama.
Akhir kata, semoga buletin ini tidak hanya sebatas menjelaskan gambaran dunia pendidikan secara tepat kepada putra-putri Labuhanbatu, namun juga dapat menjadi semangat baru bagi upaya pemberdayaan masyarakat di Labuhanbatu pada umumnya. Selamat berjuang!
Rantauprapat, Februari 2005
Bupati Labuhanbatu

Jogja, peristirahatan yang tak pernah istirahat

0 komentar

Jogja, peristirahatan yang tak pernah istirahat...
Materi termuat Buletin IPMALAY 05


Nikmati bersama suasana jogja……
Awalnya adalah pesanggrahan untuk istirahat para raja mataram. Perkembangan zaman menyulapnya menjadi kota tak pernah istirahat.
Ketika kerajaan mataram belum terbagi dua, jogja adalah kota kecil yang indah dan pesanggrahan Garjitiwati milik penguasa waktu itu, sri susuhunan Amangkurat jawi. Setelah sri susuhunan Paku Buwono II bertahta, nama pesanggrahan itu berganti menjadi Ngayogya.
Sejak ditemukan oleh para pendirinya, kawasan hutan beringin di selatan Gunung Merapi ini memang dijadikan peristirahatan Raja Kartasura. Sampai munculnya perjanjian Gianti tahun 1775 yang membagi mataram menjadi dua, sekaligus menjadi awal pembangunan ibu kota kerajaan Ngayogya Adiningrat.
Kerajaan baru yang didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I ini, dibangun dengan konsep kosentris yang menempatkan kraton sebagai negara agung dan pusat pemerintahan kerajaan. Di sekeliling kraton terdapat alun-alun, pasar, benteng, penjara, masjid, dan pemukiman penduduk.
Penataan kota jogja selain memperhitungkan fungsi tiap bagian kota juga memiliki makna simbolis. Misalnya, ditengah alun-alun terdapat sepasang beringin yang terkurung dan terpisah, menggambarkan manunggaling kawula gusti. Maknanya peringatan bagi raja agar menjalankan kerajaan dengan adil.
Hingga sekarang sebagian tata kota kraton masih berfungsi dan diperthankan keberadaanya. Tapi sebagian sudah tinggal kenangan karena harus bersaing dengan budaya populer yang menyerbu jogja dengan ganas.
Persaingan antara budaya barat dan kraton menjadi realitas cepat atau lambat akan merubah wajah jogja. Kebudayaan kraton yang sejak awal dijadikan simbol perwujudan budaya jawa, melawan barat yang identik dengan peradaban kapitalis.
Ibarat petinju, pertama-tama peradaba kapitalistik menyarangkanpukulan mautnya keperut orang jogja. Restoran-restoran cepat saji, seperti Kentucky Fried Chicken, MC Donals,Pizza Hut, dan Dunkin Donuts, menjadi sarana mengubah pola dan gaya hidup orang jogja. Berbeda dengan makan dilesehan yang membolehkan pengunjung ngobrol sampai larut tanpa menghiraukan waktu, direstoran – restoran dunia itu makan benar – benar menjadi sekedar aktivitas rutin yang harus segera diselesaikan.
Sebuah budaya barat lainnya yang turut mengubah wajah jogja adalah makin maraknya mal, supermarket dan kafe yang dengan cepat telah membuar sebagian jogja menjadi seperti yang sering muncul disinetron – sinetron indonesia.
Disisi lain, jogja telah menjelma menjadi kesibukan rutin dari siang hingga malam. Jalan – jalan beraspal tak pernah sepi dari kendaraan bermotor dan orang – orang.
Jalan malioboro, salah satu trade mark jogja, bahkan nyaris tidak pernah sepi. Pedagang, pelancong, pelajar, dan pencari hiburan memadati jalan legendaris ini. Kini, jogja menjadi kota yang tidak mengenal kata istirahat.

Nikmati bersama suasana jogja……
Ritual budaya
Belajar budaya jawa belum lengkap tanpa menyaksikan berbagai ritual khas jogja. Ritual kahs jogja yang sering dirayakan besar – besaran antara lain Grebeg Sekaten dan Labuhan. Grebeg dilakukan 3 kali setahun yaitu ; Grebeg besar yaitu pada hari raya idul adha, Grebeg sawal pada hari raya Idul Fitri dan Grebeg maulud untuk memperingati hari kelahiran nabi Muhammad yang juga dimeriahkan dengan sekaten tiap tanggal 5-11bulan maulud. Labuhan untuk memperingati hari lahir raja jogja, Sri Sultan Hamengku Buwono.
Selain itu ada Sendaratari Ramayana di Candi Prambanan, Mubeng Benteng, Jamasan ( pencuci kraton), ngurasenceh dimakam raja – raja imogiri, Upacara Bekakak di Gamping, Tumplak Wajik ( dua hari sebelum Grebeg ) dan saparan. Banyak khan?
Malioboro
Sebutan lamanya adalah “Dari teteng sepur sampai stopan gantung”. Malioboro menjadi saksi perjalanan aktivitas wong jogja. Dulu,..pernah jadi café terpanjang”. Orang bisa makan sambil menikmati orkestra jalanan, nongkrong wedangan sambil berdiskusi urusan asmara, kesenian sampai politik.
Kini, malioboro jadi pusat kegiatan ekonomi. Orang ke malioboro kebanyakan hanya ingin belanja. Romantisme lesehan malam hari sering mendapat banyak keluhan dari orang yang kaget ketika disodoro nota. Bagaimanapun, malioboro masih jadi daya tarik jogja.
Nonton film
Jogja tinggal punya 4 buah bioskop. Kondisi ini sering dimanfaatkan mahasiswa untuk membuat bioskop kampus. Dengan tiket masuk antara Rp 1500 sampai Rp 2000, kamu bisa menikmati film terbaru lewat layar lebar. BPA sospol, KPTU Teknik dan LAKFIIP adalah tempat pemutaran Film di lingkungan kampus.
Pemutan film sering juga digelar di Gedung Societet Militer, lembaga indonesia perancis, PPG kesenian serta gedung pertunjukan kompleks ISI jogja.
Pasar
Selain Bringharjo dan Kranggan sebagai pasar utama, dijogja ada pasar buku yang populer dengan sebutan Shopping Center. Ada juga pasar hewan di Kuncen. Pasar burung di Ngasem. Pasar sepeda di Terban.
Kalau ingin cari barang bekas, ada pasar klitian yang dapat dijumpai di Pasar Bringharjo, Asem Gede, jalan Diponegoro dan jalan Mnagkubumi pada malam hari. Ada pula pasar kembang, tapi jangan harap kamu temukan kembang disana.
Makanan
Satu yang perlu dipersiapkansebelum tiba di kota Jogja adalah membiasakan lidahmu dengan rasa manis. Hampir semua warung masakannya berasa manis, apalagi yang khusus menyuguhkan masakan jogja seperti Gudeg. Bila kamu ingin mencicipi Gudeg, tak perlu bingung mencarinya. Gudeg tersedia dipasar tradisional, penjaja keliling, warung sampai restoran.
Selain Gudeg, masih ada makanan khas berasa manis lainnya seperti tiwul, gatot, sawut klepon, getuk, bakpia, geplak, wingko babad dan yangko.
Kotagede
Terkenal dengan sebutan kota perak karena sejak dulu banyak pengrajin perak.

Javanese Empire of Mataram, Ngayogyakarto Hadiningrat

0 komentar

Javanese Empire of Mataram, Ngayogyakarto Hadiningrat
Materi termuat Buletin IPMALAY 05

Lying in the shadow of a 2914 meter-high pressure cooker, appropriately called Fire Mountain or Merapi, is the seat of the once mighty Javanese Empire of Mataram, Ngayogyakarto Hadiningrat. It is called Yogyakarta (Yogya) today and came into being in 1755, when a land dispute effectively split the power of Mataram into the Sultanates of Yogyakarta and Surakarta (Solo). The Sultan's Palace or Kraton of Yogyakarta was built by Prince Mangkubumi at this time and he used it as a focus to build the most powerful Javanese state since the 17th century. The Sultan's palace is still the hub of Yogyakarta's traditional life and despite the advance of 20th century modernity, it still radiates the spirit of refinement which has been the hallmark of its art for centuries.
Yogyakarta is one of the supreme cultural centers of Java. Full Gamelan orchestras create visions from the past, classical and contemporary Javanese dances exhibit beautiful control and poise, wayang kulit - leather puppet theaters - come to life and hundreds of other traditional illustrations of art keep lokals and visitors spellbound.It is as if the city itself has an extraordinary life force and charm which seldom fails to captivate.
Contemporary art has also grown in the fertile soil of Yogyakarta's cultural and sophisticated society. ASRI, the Academy of Fine Arts, for example, is the centre of arts in the region and Yogyakarta itself has given its name to an important school of modern painting in Indonesia, perhaps best illustrated by the renowned impressionist, the late Affandi.The province is one of the most densely populated areas of Indonesia and is the main gateway to the centre of Java where it is geographically located. It stretches from mighty Mount Merapi to the North down to the powerful Indian Ocean to the South. Daily air services connect Yogyakarta to Jakarta, Surabaya and Bali, while regular trains ply similar routes and thousands of buses offer easy accessibility by road.

Dari jogja dengan budi pekerti

0 komentar

Dari jogja dengan budi pekerti
Materi termuat Buletin IPMALAY 05


Akhir-akhir ini kita banyak meelihat di media, baik cetak maupun elektronik semakin berkembangnya tindakan-tindakan yang tidak bermoral dan tidak beradab dari kalangan anak, remaja, orang tua, sampai kakek-kakek. Merebaknya VCD porno yang kemudian banyak menimbulkan perkosaan. Menjangkitnya Miras dan Narkoba yang banyak mengakibatkan kebrutalan, pembunuhan, perampokan, perkosaan, dan tindakan-tindakan lainnya yang sudah tidak disadari oleh pertimbangan pemikiran yang jernih dan hati nurani. Mulai memudarnya rasa hormat anak (generasi muda) terhadap orang tua, kehilangan rasa kasih sayang terhadap teman sebayanya, kehilangan sikap untuk saling menasehati, saling mengingatkan, dan sikap “saling” yang lain agar masing-masing kita menemukan jalan yang terbaik untuk membentuk sebuah bentuk sistem pergaulan yang penuh kesejukan, keakraban, persaudaraan, penuh nuansa untuk maju, mencapai bentuk masyarakat yang ideal.
Fenomena-fenomena penyimpangan prilaku tersebut mencerminkan belum tertanamnya nilai budi pekerti di kalangan massyarakat, lebih-lebih penekananya pada generasi muda. Padahal generasi muda seharusnya menjadi tulang punggung keberhasilan suatu tujuan dalam masyarakat, nusa dan bangsa. Dan ini tidak lepas dari dukungan orang tua, dunia pendidikan dan masyarakat luas. Kejadian dan contoh yang timbul dimasyarakat ini harus digaris bawahi untuk selanjutnya disikapi dengan kepedulian dari berbagai kalangan.
Dalam pandangan penulis, yogyakarta sebagai salah satu ‘central’ pendidikan dinegeri ini terbukti cukup kondusif untuk menekankan budi pekerti lewat anak didik, pendidik, orang tua, bapak/ibu kos, praktisi hukum serta berbagai lapisan masyarakat yang perduli terhadap keberhasilan bangsa beradab. Dalam rangka menyikapi masalah ini, seiring dengan masuknya tahun ajaran baru 2003/2004 secara bersamaan telah dimasukan konseep nilai-nilai budi pekerti dalam pembelajaran disekolah-sekolah di kota Gudek ini, didukung kepedulian orang tua dan masyarakat. Penanaman budi pekerti ini diaktualisasikan melalui konsep yang telah dikembangkan KH Dewantara, yaitu Tri pusat pendidikan. Pertama, pendidikan orang tua. Orang tua dalam keluarga harus berfungsi ganda yaitu sebagai pengayom bagi anak-anaknya sekaligus sebagai pendidik. Ayah dan ibu harus bisa memberi contoh tindakan yang benar dan menilai mana yang salah, sehingga anak bisa menilai mana yang harus dilakukan ataupun yang harus ditinggalkan. Orang tua melakukan perbuatan yang baik untuk ditiru, harapannya adalah anak menjadi manusia yang berguna bagi pribadi, keluarga, agama, massyarakat dan bangsa.
Kedua, pendidikan sekolah. Pendidikan dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi harus mampu menanamkan nilai-nilai kepribadian, sosial dan nilai moral pada anak didik, sehingga anak tersebut merasa telah diasu hingga dewasa dan berdaya guna bagi keluarga, masyarakat dan agama. Para praktisi pendidikan harus menyisipkan nilai budi pekerti disela-sela proses belajar mengajar agar proses pendidikannya berhasil sesuai yang diharapkan. Untuk itu, guru ataupun dosen harus memiliki kemampuan dasar pembelajaran di kelas, memiliki strategi manajemen tentang pembelajaran, memiliki kemampuan dalam memberikan umpan balik dan penguatan terhadap anak didik, memiliki kemampuan terhadap peningkatan diri sendiri agar tetap berkharisma dan menjadi suri tauladan bagi peserta didik.
Dalam proses pendidikan semua guru/doseen baik pegawai negeri sipil, maupun honorer sebaiknya menyadari bahwa tugas yang diemban dalam mengajar disamping mendapatkan gaji, harus dibarengi niat luhur dan sosial untuk meenanamkan nilai-nilai budi pekerti bagi para peserta didik. Sehingga melalui pendidikan ini anak didik bisa mencerminkan nilai-nilai moral, sosial dalam kehidupan sehari-hari dan menjadi insan yang beradab.
Ketiga, pendidikan dilingkungan masyarakat. Masyarakat pada umumnya terdiri dari berbagai lapisan yang berbeda-beda baik usia, pendidikan, ekonomi dan status sosial maupun latar belakangnya. Dari anggota masyarakat yang beragam ini hendaknya bisa dikendalikan dengan menghidupkan play group dan taman pendidikan Al-Qur’an, kelompok remaja dan pemuda dengan pembinaan melalui pertemuan rutin, temporer dalam lingkup rukun warga atau karang taruna, kelompok dewasa dan orang tua melalui pertemuan tingkat rukun tetangga, rukun warga atau paguyuban yang lain dengan siraman rohani dan keterampilan-keterampilan. Dari masyarakat heterogen ini diharapkan saling peduli untuk memberikan teguran, pembinaan dan contoh-contoh yang rasional terhadap anggota masyarakat agar bisa diterima, saling menyadari kearah kebaikan.sehingga semangat gotong royong dalam masyarakat bisa dirasakan manfaatnya.
Dari ketiga lingkungan pendidikan, yaitu lingkungan orang tua,lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat harus saling kerja sama dalam mewujudkan manusia yang bermoral dan beradab dalam kehidupannya. Di jogjakarta sebagai gambaran aktual dan faktual kondisi bangsa Indonesia pada umumnya, ada penurunan nilai sosial terhadap sesama manusia, rasa hormat, angkatan muda terhadap orang tua mulai luntur, keberadaan anak kos dipandang sebagai nilai ekonomi/sewa semata, belum direngkuh sebagai mana mestinya berdasarkan azas kekeluargaan. Ketiga lingkungan ini harus saling mendukung pendidikan budi pekerti ini. Sejak SD-SLTA bahkan sebaiknya ditindak lanjuti diperguruan tinggi.
Pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berilmu, kreatif, mandiri, estetis dan demokratis serta memiliki rasa kemasyarakatan dan kebangsaan. Tujuan luhur dari pendidikan nasional ini diharapkan bisa terwujud berdasarkan peran serta dari seluruh bangsa indonesia lahir maupun batin. Dari kota pelajar Yogyakarta ini, secara bersama-sama telah dimulai semangat untuk saling peduli terhadap keberhasilan pendidikan nasioanal maupun internasional. Dibangsa yang katanya berbudi luhur ini, selain proses pembelajaran yang sudah diberikan disekolah seyogyanya dibarengi penanaman nilai-nilai budi pekerti yang luhur.
Dalam mempertahankan predikat baik kota Yogyakarta sebagai kota pelajar, kota pariwisata dan kota budaya ini didukung beberapa hal.Pertama, melalui Tri pusat pendidikan yang berkelanjutan, pelajar bisa terkontrol dalam prilakunya, kemudian secara bersama-sama mewujudkan tindakan yang bermoral dan beradab. Kedua, mata pelajaran budi pekerti sebaiknya ditanamkan sejak dini dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Ketiga, keberadaan anak kos harus diperhatikan dan dibina supaya tidak lepas dari tujuan utama untuk belajar, mendapatkan ilmu kemudian mengamalkannya. Dalam hal ini, harus ada kontrol sosial dan kepedulian orang tua, sekolah dan masyarakat secara berkelanjutan dalam kehidupan sehari-hari.
Keberadaan anak kos baik dari Yogyakarta maupun dari luar daerah diperhatikan dan ditanamkan rasa kebersamaan melalui pendekatan kekeluargaan bahwa anak kos merupakan keluarga baru sekaligus menjadi tanggung jawab keluarga tersebut. Hubungan sesama anak kos layaknya saudara baru yang sama-sama mencari ilmu, untuk itu masing-masing harus saling menyesuaikan agar tenggang rasa tercipta demi keakraban bersama. Pemilik kos juga sebaiknya secara rutin dan temporer meluangkan waktu untuk mengontrol sarasehan, arisan, kerja bakti dan kegiatan-kegiatan positif lainnya.
Akan lebih baik jika masyarakat peduli akan keberhasilan generasi muda baik dalam belajar maupun bekerja, sehingga generasi berikutnya menjadi orang yang berkualitas, produktif, serta memiliki ilmu yang bermanfaat. Masyarakat secara bersama-sama berkumpul dengan melibatkan penduduk asli dan pendatang baik tua maupun muda.
Media berkumpul itu bisa dalam sarasehan latihan nyinom, latihan memberikan sambutan, latihan menjadi pembawa acara dan lain-lain. Dengan sarasehan latihan seperti itu anak akan merespon nilai budi pekerti, nilai sosial dan keakraban. Anak kos akan pulang kedaerahnya, disamping dengan keberhasilan ilmunya dengan membawa serta nilai-nilai kepribadian dan budaya dari kota Yogyakarta, yang secara otomatis memberi nilai plus tersendiri bagi kota ini.
Demi mempertahankan Yogyakarta sebagai kota pelajar dan mewujudkan sebagai kota budaya dan pariwisata, ini adalah wujud kepedulian bersama-sama dari orang tua, sekolah dan masyarakat. Pendidikan budi pekerti diikut sertakan dalam proses pembelajaran agar anak didik disamping mendapat ilmu pengetahuan juga nilai kepribadian yang tercermin dalam tindakan sehari-hari sebagai insan yang bermoral dan beradab.
Dengan kesadaran yang sama kita sama berharap semoga daerah kita tercinta dapat segera berbenah diri dalam memperbaharui dunia pendidikannya.

 
IPMALAY © 1988 | Designed by Lingkar Dalam Febri, in collaboration with IPMALAY | Ayo Update Kegiatan IPMALAY Dari Sini, Selamat Membaca