MEMBANGUN OPTIMISME TENTANG LOKALITAS

Kamis, 13 Maret 2008

MEMBANGUN OPTIMISME TENTANG LOKALITAS

Gagasan otonomi daerah dalam beberapa hal masih memiliki banyak kelemahan. Terutama dalam hal implementasi kebijakan yang telah sampai pada level teknis strategis maupun yang masih berupa gagasan konseptual. Pada tahapan gagasan, lewat beberapa pembahasan dalam kajian akademis, masih banyak distorsi yang muncul antara akar yang akan dijadikan focus pembahasan, dengan realita yang berkembang di lapangan. Pola hubungan kelembagaan maupun pola hubungan antar elemen dalam masyarakat yang terjadi dalam sebuah masyarakat adalah salah satu contoh permasalahan yang paling mungkin terjadi. Dalam pelaksanaannya, ternyata kebijakan yang disusun belum sepenuhnya mengakomodasikan pola hubungan yang ada. Sebagai akibatnya, gagasan besar otonomi daerah tersebut disalahartikan dan dimanfaatkan untuk kepentingan golongan. Lebih parah lagi adalah kepentingan individu.
Aspek-aspek lokal, seperti struktur social dengan berbagai unsur penyusunnya seperti tata nilai yang diakui dalam mayarakat, pola hubungan dan pola manajemen yang digunakan dalam masyarakat, dan banyak hal yang lain, yang antara satu masyarakat dan masyarakat yang lain sangat berlainan. Apalagi dengan sebuah fakta nyata bahwa ibu pertiwi ini telah mengandungnya dari awal mula sejarah bangsa ini tertulis.
Heterogenitas yang dimiliki Indonesia, sebenarnya adalah sebuah potensi yang luar biasa. Sebagaimana slogan dan jargon yang dimunculkan dari awal semacam gagasan Bhineka Tunggal Ika, pernyataan bersama pemuda 76 tahun yang lalu, dan berbagai propaganda yang baru, adalah wujud dari upaya untuk tetap mempertahankan komitmen moral seperti kesatuan dan kebersamaan yang telah menjadi pelita bagi kegelapan penjajahan yang dulu dirasakan. Dengan bukti teraihnya kemerdekaan dengan komitmen tersebut, adalah wujud keampuhan potensi yang sebenarnya ambigu. Ambiguitas ini muncul karena ternyata potensi tersebut juga telah menjadi pemicu konflik-konflik baik dalam tingkat lokal maupun nasional, sebuah warna kelabu yang menghiasi lukisan perjalanan bangsa ini.
Dengan beragam potensi cultural dan konflik yang melekat dalam kejiwaan bangsa ini, gagasan otonomi daerah yang lebih menekankan pada aspek lokal, ternyata membentuk aksioma yang tidak terlalu baru dalam tata nilai masyarakat kita. Bakat lama yang terpendam dalam masyarakat Indonesia ditakutkan akan muncul sebagai biang permasalahan baru. Sebagai sebuah terobosan yang dianggap cukup strategis, otonomi daerah diasumsikan mampu menata proporsi konflik lama sehingga kita benar-benar siap dengan tantangan dan permasalahan baru. Dan keterjebakan pada sejarah yang telah terjadi mau tidak mau menjadi batu pengganjal bagi langkah sebuah generasi. Bagaimana semestinya kita memandang realitas ini ?
Aksioma dan beragam kekhawatiran tentang dominasi aspek lokal bukan sebagai kekuatan pembangun tapi justru menjadi pemicu konflik tersebut telah mempengaruhi nilai yang dianut dalam masyarakat. Dan tidak akan memakan banyak waktu untuk sampai pada perilaku yang akan timbul dalam masyarakat. Beragam keputusan besar lain yang terimbas dari kebijakan otonomi daerah semacam kebijakan di sector ekonomi lokal, mau tidak mau akan sangat dipengaruhi perilaku yang terjadi pada sebuah masyarakat. Banyak keputusan lain yang juga akan terimbas.
Menyikapi berbagai kekhawatiran tersebut, lokalitas sebenarnya menyimpan sebuah sinergi yang jika terakumulasi akan menjadi sebuah kekuatan besar bagi masing-masing entitas mulai dari level daerah yang pada tahap lanjut akan menjadi pembangun konstruksi potensi nasional. Sebuah contoh sederhana pada penggunaan bahasa daerah dalam sebuah iklan susu yang sering ditayangkan di televisi, adalah contoh pemanfaatan unsur budaya, wujud keterlibatan aspek lokal dalam kepentingan bisnis yang lebih luas batasannya. Ternyata dengan melibatkan aspek lokal dalam kebijakan bisnis yang tidak terikat batas-batas teritorial, iklan tersebut cukup efektif baik dalam kaitanya dengan orientasi bisnis maupun orientasi kontrol social budaya. Aspek lokal yang identik dengan “pembatasan” dalam praktiknya sering menjadi permasalahan ketika pembatasan tersebut diarahkan lebih kepada pembentukan eksklusifisme dan elitisme meskipun baru pada level gagasan saja. Tanpa adanya upaya untuk “mendialogkan” lokalitas tersebut, harapan terwujudnya sinergi beragam unsur yang bersifat lokal meskipun hanya berupa gagasan akan menjadi keterlanjuran sejarah yang baru bagi generasi-generasi sesudah generasi yang ada sekarang.
Selanjutnya, peran kesadaran kritis untuk berdialog dalam kerangka mewujudkan sinergi dari keanekaragaman yang ada, akan menentukan proses yang akan dilalui oleh bangsa ini di kemudian hari. Namun, keterjebakan kesadaran kritis yang ada sekarang, dalam artian kesadaran lokal, juga tidak menjanjikan perubahan apa-apa. Dalam levelnya, kesadaran semestinya tidak terbatas hanya pada hal-hal yang bersifat lokal.

0 komentar:

 
IPMALAY © 1988 | Designed by Lingkar Dalam Febri, in collaboration with IPMALAY | Ayo Update Kegiatan IPMALAY Dari Sini, Selamat Membaca